TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen akan diterapkan pemerintah mulai 1 Januari 2024.
Kenaikan PPN tersebut merupakan implementasi dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah disahkan DPR bersama pemerintah.
Lantas bagaimana dampak dari kenaikan PPN dari awalnya 11 persen menjadi 12 persen ke kantong masyarakat?
Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan Indonesia (Asrim) Triyono Prijosoesilo menjelaskan, secara riil kenaikan PPN berpotensi lebih dari 1 persen karena akan terjadi pembulatan ke atas ketika produk minuman ringan dijual di kalangan pengecer.
Sebagai contoh, di atas kertas harga minuman ringan senilai Rp 3.500 akan naik jadi Rp 3.535 jika tarif PPN berubah dari ke 12 persen.
Baca juga: KSPI: Kenaikan PPN 12 Persen Mencekik Buruh hingga Berpotensi Terjadinya PHK
Namun, harga produk tersebut berpotensi naik menjadi Rp 3.600 bahkan hingga Rp 4.000 di tingkat eceran.
"Kenaikan harga minuman ringan di tingkat eceran akan mengurangi penjualan, karena daya beli konsumen masih rentan," kata Triyono dikutip dari Kontan, Rabu (20/11/2024).
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Elektronik (GABEL) Daniel Suhardiman, dampak kenaikan PPN tidak hanya sebatas penambahan tarif sebesar 1 persen, melainkan akan meluas di sepanjang rantai pasok industri elektronik.
"PPN 12 persen tidak bisa diartikan bahwa harga jual produk hanya akan naik 1 persen. Rantai pasok dari produsen hingga konsumen cukup panjang, mencakup produsen, sales marketing, logistik, distributor, hingga ritel. Kami tidak bisa mengatur harga yang ditetapkan masing-masing rantai pasok. Di ujungnya, konsumen bisa saja merasakan kenaikan harga 3 persen hingga 5 persen," jelas Daniel.
Menurut Daniel, kenaikan ini dikhawatirkan akan menekan daya beli konsumen yang saat ini baru mulai pulih setelah sempat mengalami tantangan ekonomi seperti deflasi dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Dengan kenaikan harga yang tak terhindarkan, konsumen mungkin akan menunda pembelian produk elektronik, yang secara langsung akan menurunkan permintaan pasar," tambahnya.
Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono mengatakan, kenaikan tarif PPN tentunya akan mengerek harga jual produk-produk di pasar, mengingat PPN adalah bagian dari komponen biaya.
Sehingga, Apindo pun mengingatkan ke pemerintah agar mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan dari pemberlakuan PPN 12 persen awal tahun depan.
Apalagi, rencana kenaikan PPN terjadi di tengah daya beli masyarakat belum stabil, sehingga tingkat produksi dari sisi pelaku usaha berisiko turun. Hal ini akan berimbas pula pada berkurangnya permintaan bahan baku.
"Kalau bisa ditunda, tapi kami tidak melakukan penekanan," ujarnya.
Dari sisi otomotif, kenaikan PPN 12 persen tentu akan berpengaruh pada harga On The Road atau OTR dari setiap model kendaraan yang dijual.
Harga OTR sendiri merupakan besaran nilai yang harus dibayarkan saat konsumen membeli kendaraan.
Wakil Presiden PT Toyota Astra Motor (TAM) Henry Tanoto menyampaikan, kenaikan pajak selalu akan berpengaruh pada harga barang.
"Kalau dampak, kita bicara secara simpel, kenaikan pajak berarti menaikan harga, dalam konteks ini (harga) mobil. Jadi tentu saja ini (kenaikan PPN) akan memberikan dampak," tutur Henry.
Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqbal menilai, kenaikan PPN berpotensi terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor.
"Lesunya daya beli ini juga akan memperburuk kondisi pasar, mengancam keberlangsungan bisnis, dan meningkatkan potensi PHK di berbagai sektor," kata Said.
Said Iqbal menyebut, rencana pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen pada 2025 di tengah upah yang minim semakin memperparah kondisi ekonomi masyarakat kecil dan buruh.
Kebijakan ini diprediksi akan menurunkan daya beli secara signifikan, mengakibatkan kesenjangan sosial yang lebih dalam dan menjauhkan target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan mencapai 8 persen.
"Daya beli masyarakat merosot, dan dampaknya menjalar pada berbagai sektor ekonomi yang akan terhambat dalam upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen," tuturnya.
Merespons kekhawatiran ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, pemerintah akan melaksanakan kebijakan kenaikan PPN dengan hati-hati dan memberikan sosialisasi yang memadai.
"Kami perlu mempersiapkan agar kebijakan ini dapat dijalankan dengan baik, disertai penjelasan yang memadai kepada masyarakat," ujar Sri Mulyani.