TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perekonomian nasional masih belum baik-baik saja pada tahun 2024 ini. Banyak perusahaan gulung tikar sehingga memicu peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyebutkan jumlah PHK sejak awal tahun hingga Oktober 2024 sebanyak 59.796 orang.
Jumlah itu diprediksi bertambah sebanyak 25.000 orang dalam tiga bulan terakhir.
Padahal pada periode Januari-Desember 2023 terdapat 64.855 orang tenaga kerja yang ter-PHK
Artinya pada masa-masa ini, PHK masih menjadi momok bagi para pekerja. Pemerintah pun putar otak untuk memberikan jaminan yang lebih baik bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan.
Sejalan dengan itu, pemerintah berencana merevisi kebijakan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) di dalam BPJS Ketenagakerjaan atau yang dikenal sebagai BP Jamsostek ini.
Baca juga: KSPI: Kenaikan PPN 12 Persen Mencekik Buruh hingga Berpotensi Terjadinya PHK
Beberapa waktu lalu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto mengatakan, nantinya pekerjaan kontrak atau dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) akan bisa mendapatkan program JKP ketika kehilangan pekerjaan.
"Terkait kebijakan jaminan kehilangan pekerjaan di dalam BPJS Ketenagakerjaan itu akan direvisi, sehingga mereka yang eligible dan bisa dapatkan jaminan kehilangan pekerjaan bisa ditingkatkan," kata Airlangga beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan bahwa revisi tersebut meliputi biaya pelatihan akan dinaikkan dari Rp 1 juta menjadi Rp 2,4 juta. Kemudian, untuk benefit uang tunai akan diseragamkan menjadi 45 persen.
"Benefit kehilangan pekerjaan yang biasanya 45 persen 3 bulan dan 25 persen 3 bulan berikutnya itu disamakan semua 45 persen," tuturnya.
Terakhir, Airlangga menyebut bahwa perubahan-perubahan itu tengah disiapkan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker).
Sementara para pekerja harus membayar iuran JKP 0,46 persen dari upah per bulan. Iuran ini dibayarkan oleh perusahaan ke BPJS Ketenagakerjaan.
Sektor Informal
Sementara itu Direktur Perencanaan Strategis dan TI BPJS Ketenagakerjaan, Zainudin mengatakan, ekosistem pekerjaan yang selalu berubah butuh pendekatan yang berbeda bagi pekerja informal dan dukungan dari berbagai pihak.
Ia menyebutkan berdasar data BPS, pekerja informal masih mendominasi tenaga kerja di Indonesia dengan jumlah 84,13 juta.
Zainudin menyebut jumlah tenaga kerja Indonesia saat ini didominasi pekerja informal, sebanyak 84,13 juta orang menurut data Badan Pusat Statistik pada Februari 2024.
Menurutnya, ekosistem ketenagakerjaan di tanah air semakin informal.
"Pola kerja kita, hubungan kerja tidak lagi hubungan kerja industrial, tapi namanya hubungan kerja kemitraan," ujar Zainudin.
Karenanya hal itu berpengaruh terhadap implementasi jaminan sosial ketenagakerjaan. Mengingat berbeda dengan peserta penerima upah.
"Para pekerja informal yang masuk kategori bukan penerima upah harus mengurus semuanya sendiri," tambah Zainudin.
Menurutnya, hampir setengah pekerja informal masuk dalam kategori pekerja rentan yang masuk dalam desil 1 sampai dengan desil 3 atau orang dalam kategori sangat miskin, miskin, dan hampir miskin.
BPJS Ketenagakerjaan, yang dikenal juga sebagai BPJamsostek, kini mulai fokus pada peningkatan kepesertaan untuk pekerja informal. Sampai 2024, sudah terdapat sekitar 9 juta pekerja informal yang telah menjadi peserta berbagai programnya.
BP Jamsostek sendiri hingga Sempember lalu telah membayarkan manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) kepada lebih dari 40.000 pekerja yang kehilangan pekerjaan dengan nilai Rp 289,96 miliar.
Deputi Komunikasi BP Jamsostek Oni Marbun mengungkap angka tersebut naik sekitar 14 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.
Sementara manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) yang dibayarkan hingga September 2024 mencapai Rp 35,6 triliun dari 2,3 juta pekerja.
"Dari total kasus klaim JHT tersebut, sebesar 29 persen atau 693,6 ribu penerima manfaat merupakan pekerja terkena dampak PHK," kata Oni.
Meski masih ada bayang-bayang PHK, jelasnya, BP Jamsostek mampu mengelola dana investasi sebesar Rp 776,8 triliun hingga kuartal III-2024, meningkat 13,22 persen dibandingkan periode sama tahun 2023.
Dana kelolaan tersebut terdiri dari program Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar Rp 484,5 triliun. Kemudian dana dari iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar Rp 65,44 triliun, Jaminan Kematian (JKM) sebesar Rp 16,99 triliun, Jaminan Pensiun (JP) sebesar Rp 182,31 triliun, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebesar Rp 14,05 triliun, serta BPJS sebesar Rp 13,5 triliun.
Bersamaan itu, BPJS Ketenagakerjaan berhasil membukukan hasil investasi sebesar Rp 38,45 triliun per akhir September 2024.
"Nilai itu meningkat 8,44 persen, jika dibandingkan periode sama tahun lalu," tutur Oni.
Peningkatan hasil investasi tak lepas dari keberhasilan manajemen BP Jamsostek menjalan strategi berinvestasi. Strateginya adalah menempatkan dana kelolaan ke berbagai instrumen investasi. Adapun porsinya, yakni deposito 12,98 persen, surat utang 73,17 persen, saham 8,31 persen, reksadana 5,20 persen, properti 0,26 persen, dan penyertaan 0,07 persen.