"Di masa masyarakat mengalami penurunan pendapatan dan kenaikan harga kebutuhan pokok, menaikkan PPN dipastikan memberatkan rakyat," kata Indah.
Indah menyebut kenaikan PPN yang terjadi sebelumnya pada April 2022, dari 10 persen menjadi 11 persen, masih dirasakan beratnya oleh masyarakat.
Ia menilai jika PPN dipaksakan naik lagi menjadi 12 persen pada 2025, hal ini akan semakin memperburuk daya beli konsumen.
Masyarakat berpotensi menunda atau bahkan membatalkan pembelian barang-barang yang dikenakan PPN tinggi.
Contohnya seperti barang elektronik, pakaian, dan peralatan rumah tangga.
"Dampaknya, dunia usaha dan industri pun akan terimbas, dengan penurunan penjualan yang berujung pada lesunya roda ekonomi," ujar Indah.
Lalu, ia menyebut kebijakan kenaikan PPN ini juga menimbulkan ketidakjelasan terkait kontrak-kontrak yang sudah ditandatangani sebelum 1 Januari 2025.
Sebab, kontrak-kontrak yang ditandatangani sebelum 1 Januari 2025 masih menggunakan PPN 11 persen.
"Siapa yang akan menanggung selisih harga akibat perubahan tarif PPN ini? Hal ini tentu akan menambah bingung para pelaku usaha dan konsumen," ucap Indah.
Ia memandang pemerintah seharusnya tak membebani konsumen dengan pajak yang tinggi.
Sementara itu, pengemplang pajak justru tidak mendapatkan sanksi tegas.
Alih-alih menaikkan PPN, kata Indah, pemerintah harusnya fokus pada peningkatan kepatuhan pajak di kalangan pengusaha kakap dan para pengemplang.
"Agar beban pajak tidak jatuh lagi-lagi pada rakyat kecil," tutur Indah.
Solusi