Padahal, berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, tindakan penagihan utang lewat ancaman kekerasan dan/atau tindakan serupa lainnya tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana.
Ketentuan umum yang dirujuk adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana).
Pasal 335 ayat (1) tegas melarang penggunaan kekerasan, ancaman kekerasan dan/atau perlakuan yang tidak menyenangkan untuk memaksa orang lain melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu, baik terhadap orang itu sendiri (i.c. peminjam) maupun orang lain.
Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diancam pidana penjara selama 1 tahun dan denda.
Di samping itu, ancaman dan teror penagihan utang melalui media elektronik, seperti melalui SMS, telepon, dan/atau pesan WhatsApp juga dapat dijerat hukum dengan Undang-undang UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik (UU ITE) dan peraturan pelaksananya.
Tindakan penagihan utang yang agresif juga dapat menimbulkan berbagai permasalahan sosial baru.
Baca juga: Tersandung Gagal Bayar, OJK Awasi Ketat Kasus Pinjol KoinP2P, Ini Kata Pengamat
Melansir situs resmi Kementerian Sosial Republik Indonesia, Fitriana Kusuma (2021) dari Universitas Indonesia menyoroti dampak dari praktik penagihan yang agresif oleh perusahaan pinjol.
Menurutnya, metode penagihan yang kasar menyebabkan trauma psikologis di kalangan masyarakat, menciptakan ketakutan sosial, dan dalam beberapa kasus memicu tindakan bunuh diri.
Banyak permasalahan baru yang timbul akibat cara-cara penagihan utang yang kasar dan agresif kepada pihak peminjam.
Oleh karena itu, dibutuhkan solusi bagi pihak pemberi pinjaman dalam melakukan penagihan mereka.
Menurut dia, dibutuhkan praktik-praktik yang etis karena CSI sangat memahami perasaan orang-orang dan masa-masa sulit akibat masalah utang.
“Kami menjangkau orang-orang dengan pesan yang tepat, pada channel yang tepat, dan pada waktu yang tepat dengan personalisasi pengalaman digital. Memberi pelanggan kekuatan untuk melunasi utangnya," tambahnya.