Anders Lindberg, Presiden Wärtsilä Energy & Wakil President Eksekutif Wärtsilä Corporation, menyatakan meskipun kita memiliki lebih banyak energi terbarukan di jaringan listrik kita dibandingkan sebelumnya, itu saja tidak cukup.
"Untuk mencapai masa depan energi bersih, pemodelan kami menunjukkan bahwa fleksibilitas sangat penting," ujarnya.
“Kita perlu bertindak sekarang untuk mengintegrasikan tingkat dan jenis teknologi penyeimbang yang tepat ke dalam sistem tenaga listrik kita," katanya.
Ini berarti segera menghentikan aset yang tidak fleksibel dan beralih ke bahan bakar berkelanjutan.
"Pembangkit listrik yang seimbang tidak hanya penting; tetapi juga krusial dalam mendukung tingkat energi terbarukan yang lebih tinggi.”
Baca juga: Bertemu PM Kanada, Prabowo Singgung Kolaborasi Bidang Teknologi dan Energi Terbarukan
Indonesia telah menyadari perlunya gas sebagai bahan bakar transisi, yang berfungsi sebagai jembatan antara batu bara dan energi terbarukan dalam Rancangan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Indonesia berencana memiliki 58 GW energi terbarukan pada tahun 2040.
Untuk mendukung pertumbuhan energi terbarukan, rencana tersebut mencakup penambahan kapasitas gas sebesar 20 GW pada tahun 2040.
Namun, selama COP29 pada bulan November, pemerintah Indonesia menetapkan tujuan yang lebih ambisius yaitu memiliki 75 GW energi terbarukan pada tahun 2040.
Febron Siregar mengatakan tindakan tegas dari seluruh sektor kelistrikan sangat penting untuk mencapai transisi energi berbiaya rendah dan rendah emisi sesuai dengan Perjanjian Paris 2050.
"Daripada hanya berfokus pada percepatan pembangunan energi terbarukan, pemikiran holistik pada level sistem harus diterapkan saat berinvestasi dan merencanakan sistem kelistrikan," ujarnya.
Baca juga: Pembiayaan EV dan Pemanfaatan Energi Terbarukan Jadi Tantangan di Era Transisi
Karena itu perlunya mempersiapkan pengenalan bahan bakar berkelanjutan dengan membangun keahlian dan infrastruktur yang dibutuhkan untuk memastikan transisi yang lancar menuju sektor listrik yang sepenuhnya bebas karbon di masa mendatang.
Daya saing atau paritas biaya bahan bakar berkelanjutan akan memerlukan tindakan kebijakan, yang dapat berupa subsidi, regulasi, pajak karbon, atau campuran dari semua ini.
“Indonesia berada pada posisi yang unik untuk mempercepat transisi energi dengan cepat karena memiliki pembangkit listrik bermesin pembakaran internal fleksibel berkapasitas 5 GW, seperti yang terlihat di Lombok, Bali, dan banyak lokasi lainnya," ujarnya.
Pembangkit listrik bermesin fleksibel akan memainkan peran penting dalam menyediakan daya penyeimbang.
"Hal ini akan membantu Indonesia mengintegrasikan lebih banyak sumber energi terbarukan sekaligus mengurangi biaya dan emisi CO2, sehingga semakin mendekati target emisi nol bersih pada tahun 2060,” tutup Febron.