Achmad memandang investasi dari industri petrokimia bisa membuat Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen sesuai target Presiden Prabowo Subianto.
Namun, ia kembali menekankan bahwa pemerintah perlu menciptakan iklim investasi yang kondusif agar industri bisa semakin ekspansif.
Di saat pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di sekitar 5 persen, ia menyebut sisa 3 persennya bisa disumbang melalui iklim pengolahan industri yang dijaga.
"3 persen itu pemerintah cukup menjaga iklim pengolahan industri. Untuk menjaga iklim perekonomian yang menuju 8 persen, 3 persen itu industri sekunder menjadi kontribusi dari industrialisasi pengolahan," ucap Achmad.
Maka dari itu, ia meminta pemerintah jangan terlalu banyak mengeluarkan peraturan atau kebijakan baru.
Bergantung Pada Kondisi Minyak dan Gas Bumi
Ia juga menyebut industri petrokimia Indonesia bergantung pada kondisi minyak dan gas bumi sebagai bahan baku utama.
Untuk menjalankan arah industri yang lebih terukur, maka peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Pertamina dinilai sangat penting.
Achmad mengutarakan bahwa BUMN berperan utamanya dalam mengelola industri di sisi hulu demi menjalankan Refinery Development Master Plan (RDMP).
Menurut catatannya, sejak demokrasi, belum pernah ada BUMN yang ditugaskan oleh pemerintah untuk melakukan penanaman modal dalam negeri secare penuh di sektor hulu, terutama di Pertamina.
"Integrated plan-nya yang disebut RDMP kan. RDMP itu tidak berjalan, kilang tidak jalan, semuanya nggak jalan," tutur Achmad.
Ia mengatakan BUMN seperti Pertamina bisa ditugaskan untuk menjadi bagian daripada penyertaan pemerintah melakukan revolusi industri di dalam hulu.
Kontrak Jangka Panjang
Ketua Komisi Tetap Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Hari Supriyadi turut berpendapat dalam soal ini.
Ia menilai salah satu regulasi yang diperlukan dunia usaha saat ini adalah keberlanjutan yang jelas dari investasi petrokimia, misalnya kontrak jangka panjang untuk gas.