Pria yang juga Ketua Umum Asosiasi Industri Penghasil Petrokimia Indonesia itu mengatakan, saat ini kontrak gas yang ada itu memiliki durasi pendek.
Dengan kontrak yang berdurasi pendek, Hari pun mempertanyakan bagaimana negara bisa melakukan hilirisasi dan ekspansi.
"Gimana kita bisa hilirisasi, gimana kita bisa ekspansi? Kontrak gas itu cuma lima tahun, nggak bisa. Karena industri petrochemical kan hidupnya harus 20 tahun, investasinya triliunan,” katanya.
Selain persoalan kontrak, ia menilai perlu juga harga gas bumi tertentu (HGBT) yang rata pada semua perusahaan petrokimia.
Ia menyayangkan tidak semua perusahaan merasakan kebijakan HGBT yang sebesar 6 dolar AS per MMBTU. Padahal, industri petrokimia masuk ke dalam tujuh prioritas.
Seharusnya, semua perusahaan yang termasuk dalam industri petrokimia bisa menikmati HGBT. Namun, kata dia, Kementerian ESDM tidak menerapkan itu.
"Untuk penguatan struktur industri, yang perlu memang untuk penguatan salah satunya adalah melakukan integrasi industri hulu dan hilir," kata Wiwik.
"Kami sudah dapat rekomendasi dari Kementerian Perindustrian, tapi di ESDM tidak dieksekusi. Sekarang kan dipilih-pilih yang tertentu," ujar Hari.
"Ada ratusan perusahaan yang sudah direkomendasikan, tapi tidak dapat. Meskipun masuk 7 sektor, tapi enggak bisa dieksekusi ESDM,” lanjutnya.
Menurut Hari, jika industri petrokimia bisa berlari kencang, maka semakin banyak lapangan pekerjaan yang terbuka.
Saat ini di perusahaan besar industri petrokimia bisa menampung ribuan pekerjaan, termasuk yang terikat dalam rantai pasok.
Kalau industri petrokimia tidak bisa terutilisasi 100 persen atau semakin turun, imbasnya akan dirasakan di sektor tenaga kerja.
Industri petrokimia memang bukan padat karya, tetapi kata Hari, tetap akan mempengaruhi sektor tenaga kerja.
Industri petrokimia disebut tetap memiliki rantai pasoknya yang di dalamnya ada berbagai vendor kecil.