TRIBUNNEWS.COM - Setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi, mulai banyak negara yang melakukan lockdown.
Seperti halnya Italia, Spanyol, Perancis, Filipina, dan Malaysia.
Sejatinya mereka mengikuti cara China ini karena mengalami lonjakan kasus yang cukup signifikan.
Sementara itu Amerika Serikat tengah mengalami krisis setelah gagal untuk melakukan tes karena kerusakan.
Jadi saat ini negara Paman Sam hanya bisa menebak seberapa masif wabah corona ini bersarang di sana.
Bahkan menurut sejumlah pakar, AS dikatakan sama saja dengan tingkat infeksi di Eropa.
Baca: Penyesalan Profesor Korea Selatan yang Sepelekan Virus Corona: Saya Terlalu Percaya Diri
Baca: Update Corona Asia: Korea Selatan Berhasil Tahan Kasus Baru dan Hong Kong Karantina Kedatangan
Di tengah femomena yang mengerikan ini, Korea Selatan justru muncul dengan model kebijakan yang patut ditiru.
Negara berpenduduk 50 juta jiwa ini sudah berhasil memperlambat laju epidemi corona.
Bahkan selama tiga hari terakhir, Korea Selatan melaporkan kasus baru di bawah angka 100.
Padahal Februari lalu, negara ginseng mengalami lonjakan sebesar 909 kasus.
Hebatnya Korea Selatan bisa menahan pertumbuhan wabah mematikan asal China ini tanpa lockdown sama sekali.
"Korea Selatan adalah republik yang demokratis, kami merasa kuncian (lockdown) bukanlah pilihan yang masuk," kata Kim Woo-Joo, Spesialis Penyakit Menular di Universitas Korea dilansir Science Mag.
Prestasi Korea Selatan tentu bisa menjadi pelajaran penting dalam menanggulangi wabah Covid-19.
Kini setelah menurunkan angka kasus, Korea Selatan mulai berbenah untuk bangkit kembali.
Apa Rahasia Korea Selatan untuk Turunkan Angka Infeksi Covid-19?
Keberhasilan Korea Selatan menahan angka infeksi tidak jauh dari proses tes yang masif di sana.
Bahkan Korea Selatan dikatakan sebagai negara dengan progam pengujian paling luas dan terorganisir di dunia.
Kebijakan ini lantas dikombinasikan dengan upaya isolasi untuk mereka yang terinfeksi corona.
Selain itu juga melacak dan mengarantina siapapun yang pernah melakukan kontak dengan pasien.
Korea Selatan setidaknya telah menguji lebih dari 270.000 orang.
Ini adalah angka pengujian paling besar di antara negara terinfeksi Covid-19 lainnya.
Di bawahnya ada Bahrain yakni sebesar 5.200 tes, dinobatkan sebagai negara paling banyak melakukan tes corona juga.
Bahkan negara adidaya, Amerika Serikat hanya melakukan 74 tes per 1 juta penduduk.
"Kapasitas diagnostik pada skala adalah kunci mengendalikan epidemi," ujar Sarjana Penyakit Menular Universitas New South Wales Sydney, Raina Maclyntre.
Inilah yang sudah dilakukan dan dibuktikan Korea Selatan, setelah sempat terpuruk dalam kubangan kasus Covid-19.
"Pelacakan kontak juga sangat berpengaruh dalam pengendalian epidemi, seperti halnya isolasi khusus," tambahnya.
Kendati demikian, tidak ada jaminan bahwa keberhasilan Korea Selatan menahan infeksi bisa bertahan lama.
Sebab jumlah kasus baru bisa menurun sebagian besar karena pemerintah menguji anggota Gereja Shincheonji Yesus.
Dimana sang pemimpin gereja ini bersimpuh di depan awak pers karena tidak mengetahui perjalanan rohani mereka mengundang wabah corona yang besar.
Lantaran sekitar 60 persen atau 5.000 kasus adalah sumbangan dari gereja ini.
"Kami belum melihat hal yang sama di bagian lain Korea," kata Spesialis Penyakit Menular di Seoul National University, Oh Myoung-Don.
Dia merujuk pada hasil pengetesan Korea Selatan yang belum sampai ke bagian lain negara itu.
Pekan lalu pemerintah kembali melaporkan 129 kasus corona baru.
Sebagian besar berasal dari Seoul Call Center.
"Ini bisa jadi tanda-tanda penyebaran dalam komunitas," kata Kim.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)