TRIBUNNEWS.COM - Salah satu warga Italia, Alfredo Visioli mengembuskan napas terakhirnya setelah terjangkit Covid-19.
Penyakit ini merenggut label panjang umur padanya, karena meninggal pada usia 83 tahun.
Alfredo dimakamkan di tanah kelahirannya yakni Kota Cremona, Italia Utara.
Tidak ada keluarga maupun orang-orang terdekat Alfredo pada acara penguburannya.
Bahkan upacara pemakaman pun tidak dilaksanakan sebagaimana lazimnya.
Baca: Dettol Disebut Bisa Bunuh Virus Corona, Pihak Dettol UK Beri Penjelasan
Baca: Avigan, Obat Flu Asal Jepang Diklaim China Efektif Sembuhkan Corona
"Mereka menguburnya seperti itu, tanpa pemakaman, tanpa orang-orang yang dicintainya, hanya dengan doa dari pendeta," kata cucu Alfredo, Marta Manfredi yang juga tidak hadir dalam pemakaman kakeknya itu, dilansir Reuters.
Apalagi kalau bukan isolasi yang memaksanya untuk tetap tinggal di rumah.
"Ketika ini semua berakhir, kami akan memberinya pemakaman yang nyata," sumpah Manfredi.
Pandemi global corona ini mengubah semua tradisi bahkan sampai pada penghormatan terakhir untuk seorang almarhum.
Seakan tidak ada lagi ruang tanpa Covid-19 di Italia, sebab ritual kuno untuk menghormati orang meninggal dan menghibur keluarga yang berduka dipangkas karena takut justru malah menjadi malapetaka sendiri.
Virus yang telah menewaskan lebih dari 10.000 orang di dunia ini secara tidak langsung mengubah perspektif manusia atas kematian.
Dari mulai karena terjangkit infeksi Covid-19 yang serius hingga mungkin terkait spiritual yang lama ditinggalkan.
Ketakutan jenazah Covid-19 bisa menularkan wabah pun sudah dirasakan Iran.
Seperti diberitakan beberapa waktu lalu, pemerintah Iran menaburkan bubuk putih di areal pemakaman.
Disinyalir itu adalah kapur untuk mencegah penularan lebih lanjut kepada petugas pemakaman.
Baca: 3 Orang Dekat Menpan RB Tjahjo Kumolo Positif Corona: Mohon Doanya
Baca: Apa Itu Avigan? Obat Corona Asal Jepang yang Dipesan Jokowi Sebanyak 2 Juta Butir
Irlandia juga demikian, pemerintah mengimbau pekerja kamar mayat untuk memakaikan masker untuk mayat-mayat tersebut.
Tujuannya tentu untuk mengurangi resiko penularan kepada yang mengurus jenazah ini.
Sementara itu perusahaan pemakaman di Italia menyiarkan prosesi pemakaman agar keluarga yang sedang dikarantina bisa mengikuti penguburan tersebut.
Sama halnya dengan Korea Selatan, angka infeksi yang sempat melonjak drastis menyebabkan penurunan angka pelayat di sejumlah jasa pemakaman.
Di sisi lain Italia, Bergamo, menyediakan sedikit waktu upacara penguburan.
Bergamo sendiri termasuk dalam wilayah dengan kasus Covid-19 yang cukup banyak.
Otoritas Pemakaman di Bergamo, Giacomo Angeloni, mengaku setiap jam krematorium tidak henti diisi jenazah baru.
Padahal wilayah dengan 120.000 penduduk ini biasanya hanya menangani 5 sampai 6 orang meninggal pada hari-hari normal.
Dilansir The Wuhanvirus, angka kematian Italia sudah melampaui China yakni 3.405.
Lebih sekitar 200 orang daripada China yang mengantongi 3.248 kematian.
Sedangkan persentase mortalitasnya sendiri mencapai angka 8,3 persen.
Pada Rabu lalu, tentara Italia mengirim 50 pasukan dan 15 truk ke Bergamo untuk membawa mayat-mayat tersebut ke daerah yang tidak lebih kewalahan dariapada kota ini.
Larangan datang ke pemakaman menurut Kepala Operasi Cruse Bereavement Care, Andy Langford telah merusak ritual dalam berduka.
Operasi Cruse Bereavement Care sendiri adalah badan amal Inggris yang menyediakan konseling bagi orang-orang yang berduka.
"Pemakaman memungkinkan suatu komunitas untuk bersatu, mengekspresikan emosi, berbicara tentang orang itu dan secara formal mengucapkan selamat tinggal," katanya.
"Ketika Anda merasa tidak memiliki kendali untuk berduka, dan merasakan saat-saat terakhir bersama seseorang, itu bisa menyulitkan cara untuk bersedih dan membuat Anda merasa lebih buruk," tambahnya.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)