News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Virus Corona

Sektor Pariwisata Dihantam Pandemi Corona, Harus Apa untuk Mencegah PHK Besar-besaran?

Editor: Hasiolan Eko P Gultom
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang pedagang melamun di sela-sela sepinya pengunjung di Teras Cihampelas, Jalan Cihampelas, Kota Bandung, Minggu (22/3/2020). Pasca ditetapkannya darurat virus corona (Covid_19) di Indonesia, khususnya di Kota Bandung, suasana tempat wisata kuliner, fashion, dan akaesoris di atas Jalan Cihampelas yang biasanya ramai didatangi pengunjung setiap Jumat hingga Minggu, kali ini sepi, bahkan banyak pemilik jongko yang menutup dagangannya. Dampaknya pedagang mengalami penurunan omset, bahkan jika kondisinya terus memburuk mereka akan menutup jongkonya sampai kondisi kembali normal. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pandemi covid-19 telah memukul sektor pariwisata dan ekonomi kreatif di Indonesia.

Industri pariwisata dalam hal ini tidak hanya perhotelan, namun juga, restoran, event organizer (EO), ataupun travel agency.

Ada jutaan pekerjaan terkait yang bekerja di sektor tersebut.

Pekerja ekonomi kreatif yang terkena imbas Pandemi Covid-19 terancam mengalami PHK besar-besaran jika sektor ini terus melesu.

Soal hal ini, anggota Komisi XI DPR M Misbakhun mengajukan usulan agar pemerintah segera mengambil kebijakan afirmatif demi melindungi kegiatan perekonomian dari imbas pandemi virus corona (COVID-19).

Legislator Partai Golkar itu meminta pemerntah menyediakan semacam bail-out bagi industri pariwisata nasional.

"Saran saya, harus ada bail-out oleh negara di sektor pariwisata sebagai insentif. Misalnya 25-35 persen okupansi hotel dibeli oleh negara selama tiga bulan," kata Misbakhun, Senin (23/3).

Anggota dewan dari Dapil II Jawa Timur itu menuturkan, sektor pariwisata merupakan tumpuan masa depan ekonomi domestik Indonesia.

Menurutnya, pariwisata adalah titik utama terbangunnya industri kecil ekonomi kreatif lokal.

Namun, kini pariwisata lesu akibat persebaran COVID-19.

“Wabah corona saat ini telah secara nyata menghantam sektor pariwisata yang sudah established (mapan) sekalipun seperti di Bali, maka pemerintah harus turun tangan menyelamatkannya,” ujarnya.

Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu menambahkan, jika sektor pariwisata yang baru berkembang diterpa pelemahan ekonomi akibat COVID-19, investasi bidang turisme pun akan mandek.

Sebab, bisa jadi investor pariwisata menahan dananya atau bahkan hengkang.

“Jika itu sampai terjadi, untuk recovery dan bangkit butuh waktu lama. Recovery yang terlalu lama membuat para investor ragu untuk comeback," ulas Misbakhun.

Oleh karena itu Misbakhun mendorong pemerintah melakukan bail-out. Paling tidak dana bail-out itu bisa dimanfaatkan untuk gaji sekaligus jaring pengaman dalam rangka mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan hotel.

"Pemerintah harus turun tangan menyelamatkannya. Tujuan bailout sektor pariwisata adalah menolong industri untuk membayar kebutuhan dasar mereka saja, yaitu bayar karyawan," ujarnya.

Misbakhun mengatakan bahwa pola itu pernah dilakukan Pemerintah AS saat menghadapi krisis ekonomi akibat subprime mortgage pada 2008-2009. Saat itu, pemerintah AS mengeluarkan dana USD 1,2 triliun untuk semua sektor industri.

Kala itu, pemerintahan Presiden George W Bush menalangi perusahaan-perusahaan otomotif AS seperti Ford, General Motor dan Chrysler. Saat itu, siapa saja konsumen yang membeli mobil listrik dan hybrid juga disubsidi secara langsung.

“Jadi industri otomotif jalan dan tidak ada PHK, sehingga kelas pekerja di AS tetap memiliki pekerjaan dan mempunyai daya beli yang cukup,” katanya.

Sumber Pendanaan

Lantas, bagaimana cara Indonesia mencari dana bail-out untuk sektor pariwisata? Menurut Misbakhun, Pemerintah memiliki beberapa sumber dana.

Pertama, pemerintah masih mempunyai dana yang memadai dari Sisa Anggaran Tahun Lalu (SAL), akumulasi dari Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya (SILPA), dan anggaran yang selama ini disisihkan oleh pemerintah sebagai dana abadi (endowment fund) untuk keperluan cadangan.

Di luar itu ada dana dari pungutan bea ekspor sawit (lavy) di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dana lingkungan hidup di Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Dana Riset Perguruan Tinggi, serta dana dari Surat Utang Negara (SUN).

"Termasuk dana APBN yang ada BA99 yang selama ini dikelola oleh Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara," ujar Misbakhun.

Kedua, bila perlu Pmerintah bisa meminjam sebagian dana milik Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang mencapai lebih Rp 150 triliun sebagai cadangan darurat oleh negara. Menurut Misbakhun, dana di LPS itu sedang tidak digunakan.

"Ini untuk keperluan mendadak. Uang tersebut tersedia dan sangat siap untuk dipinjam negara bila perlu,” kata Misbakhun.

Sebelumnya, Misbakhun sudah mengusulkan agar pemerintahan Presiden Jokowi menyediakan semacam pengganti uang makan sebesar Rp 125 ribu per pekan atau Rp500 ribu per bulan untuk menolong buruh tani, perkebunan, nelayan dan pedagang kecil.

Selain itu, Misbakhun juga mengusulkan agar pemerintah membantu pekerja harian lepas di sektor transportasi seperti sopir taksi atau angkutan massal, pengemudi truk dan ojek online.

Selain itu, Misbakhun juga meminta pemerintah membantu cicilan kredit pemilikan rumah (KPR) untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini