TRIBUNNEWS.COM - Virus corona atau Covid-19 kini telah mewabah ke sejumlah negara dan jadi momok menakutkan bagi masyarakat.
Termasuk di Indonesia, informasi yang berkaitan dengan wabah Covid-19 dapat dengan mudah ditemukan.
Sejak muncul di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China pada Desember 2019 lalu, masyarakat Indonesia saat itu masih santai menanggapi virus.
Lambat laun sejak Indonesia mengumumkan adanya pasien pertama yang terkena Covid-19, informasi soal corona mulai bertebaran di masyarakat.
Terlebih, sejak angka pasien yang terinfeksi bertambah dan jumlah kematiannya yang terus meningkat.
Baca: Kata Ahli Virologi Virus Corona dapat Hancur di Luar Tubuh Manusia, Pelarut Lemak Jadi Senjata
Informasi soal virus tersebut amat massif di jagat maya, dan kerap menjadi bahan perbincangan di kehidupan nyata.
Setiap harinya, setiap menit bahkan detik pun informasi mengenai Covid-19 terus-menerus berkembang di Indonesia.
Kondisi tersebut tak jarang membuat masyarakat ikut menelan mentah-mentah informasi hingga membuat kepanikan yang tak wajar.
Kepanikan tersebut bahkan membuat sebagian orang turut serta merasakan stres dan bergejala seperti penderita Covid-19.
Hal tersebut dibenarkan Dokter Spesialis Kejiwaan dari OMNI Hospitals Alam Sutera Tangerang, dr Andri SpK, FACLP.
Ia menyebut kondisi tersebut tidak mengherankan, sebab terlalu banyak informasi soal Covid-19 yang membuat level stres sebagian orang meningkat.
Baca: Antisipasi Penyebaran Covid-19, Polres Bangkalan Bubarkan 15 Titik Keramaian
"Tidak mengherankan kondisi ini membuat sebagian orang meningkat stress levelnya."
"Kalau masih bisa kita tangani tidak masalah, yang tidak bisa ditangani adalah ketika stres itu jumlahnya banyak atau terlalu sering," ujar dr Andri kepada Tribunnews, Senin (23/3/2020).
Menurutnya, kondisi tersebut wajar, sebab kita terlalu sering menerima informasi, tapi tidak cukup memiliki waktu untuk beradaptasi dengan fenomena tersebut.
Terlebih jika menerima informasi mengenai hal-hal yang kurang nyaman untuk didengar.
Misalnya mengenai kekurangan APD, kekurangan masker, dan banyaknya jumlah kematian.
"Itu yang membuat kita stres sendiri, kalau kita tidak sanggup maka kecemasan akan datang," ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menuturkan hal tersebut dipengaruhi oleh otak manusia yang terpusat di Amygdala.
Baca: Ajak Warga Kompak Hadapi Corona, Prabowo Ungkap Hubungan Baik dengan China: Kita Butuh Kesadaran
"Di otak kita, di Amygdala atau pusat rasa cemas sekaligus memori, terlalu aktif bekerja akhirnya kadang dia tidak sanggup mengatasi terlalu banyak aktivitas berlebih hingga membuat reaksi cemas."
"Reaksi cemas itu ada yang reaksinya ke kepikiran, ada juga yang ke sistem saraf pusat otonom."
"Saraf pusat otonom itu ada dua, yaitu sistem saraf pusat otonom simpatis dan parasimpatis."
"Kalau dua sistem tersebut tidak seimbang, kelebihan beban, maka timbulah gejala psikosomatik," jelas Andri yang juga member American Psychosomatic Society itu.
Gejala itulah yang membuat sebagian orang merasa sakit, seperti sesak napas, keluar keringat dingin, tidak enak badan hingga lambung tak nyaman.
Hal itu yang menjadi penyebab seseorang bisa merasakan gejala sakit akibat terlalu sering mendapat informasi soal Covid-19.
Bahkan, gejala tersebut bisa membuat seseorang ikut merasakan gejala yang mirip dengan Covid-19.
"Jadi seseorang itu merasa misalnya bangun tidur lehernya menjadi sakit."
"Batuk, pilek, merasa demam 37 derajat jadi takut karena mirip dengan Covid-19."
"Hal seperti itu terjadi kalau gejala stres terlalu banyak, akhirnya gejalanya dimirip-miripin dengan kondisi seperti Covid-19," tutur Andri.
Untuk itu, dr Andri menyarankan agar beradaptasi dengan kondisi tersebut.
"Kalau kita masih punya kemampuan untuk beradaptasi dengan stres, maka kurangilah sumber stresnya."
"Kurangi membaca dan terlibat dalam bacaan-bacaan tentang Covid-19 yang kurang nyaman," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Maliana)