News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Virus Corona

YLBHI Minta Pemerintah Hentikan Kebijakan Represif di Tengah Pandemi Corona

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati dalam tayangan 'Dua Arah' YouTube Kompas TV, Senin (27/1/2020).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, meminta pemerintah terutama Polri berhenti melakukan tindakan represif kepada masyarakat untuk menegakkan aturan selama pandemi coronavirus disease (Covid)-19.

“Pemerintah perlu mengedepankan pendekatan persuasif dan kemanusiaan di tengah Covid-19. Tindakan represif sebagai pendisiplinan tidak akan berhasil tanpa insentif berupa pemenuhan kebutuhan rakyat dan penyadaran masyarakat,” kata dia, saat dihubungi, Rabu (8/4/2020).

Dia menyoroti upaya instansi Bhayangkara itu mengeluarkan aturan khusus tangani hoaks dan penghinaan Presiden, yang merujuk pada Surat Telegram Kapolri Nomor 1100 tentang Siber tanggal 4 April 2020 yang ditandatangani oleh Kabareskrim.

Baca: Luhut Binsar Tetap Tuntut ke Jalur Hukum, Meski Said Didu Telah Kirim Surat Klarifikasi

Surat telegram itu bersamaan juga dengan dikeluarkannya Surat Telegram KAPOLRI Nomor 1098 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Surat Telegram KAPOLRI Nomor 1099 tentang Bahan Pokok.

“Kami mencatat, aturan ini berpotensi melanggar due process of law, mendorong semakin banyaknya penangkapan terhadap masyarakat yang kritis, dan berpotensi melanggar lebih lanjut hak atas kebebasan menyampaikan pendapat dan ekspresi,” ujarnya.

Baca: KSPI: Pekerja Alami Ancaman PHK dan Gangguan Kesehatan

Dia menilai Surat Telegram itu memang ditujukan untuk internal kepolisian, tetapi dampaknya justru akan berlaku bagi masyarakat luas.

Penjelasan pasal-pasal yang ada tanpa disertai penjelasan yang memadai berdasarkan hukum dan putusan pengadilan yang berkembang berpotensi kuat menjadi penyalahgunaan dalam penerapannya. 

Dia menjelaskan, kebijakan mengedepankan pemidanaan justru kontraproduktif dengan kebijakan Presiden Joko Widodo yang telah melepaskan 30.000 lebih narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan atau Lembaga Pembinaan Khusus Anak.

Selain itu, dia menambahkan, aturan mengenai Penghinaan Presiden juga sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan diubah jadi delik aduan, dimana jika Presiden Joko Widodo tersinggung atau merasa dihina bisa mengadukan secara pribadi ke kepolisian.

“Menggunakan pasal ini secara serampangan berarti menghidupkan kembali semangat kolonialisme yang sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi,” tambahnya.
 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini