TRIBUNNEWS.COM - Pada Senin (13/4/2020) lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa virus corona 10 kali lebih mematikan daripada flu babi.
Pihak WHO menekankan bahwa vaksin sangat dibutuhkan untuk sepenuhnya menghentikan pandemi Covid-19 ini.
Dirjen WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan pihaknya masih terus mempelajari virus baru SARS CoV-2 ini.
"Kami tahu bahwa Covid-19 menyebar dengan cepat, dan kami tahu itu mematikan, 10 kali lebih mematikan daripada pandemi flu 2009 (flu babi)," katanya dikutip dari Straits Times.
Baca: WHO: 70 Vaksin Covid-19 Dikembangkan, dengan 3 Uji Coba Manusia
Baca: WHO Investigasi Fenomena 91 Pasien Corona yang Kambuh di Korea Selatan
Flu babi atau H1N1 pertama kali ditemukan di Meksiko dan Amerika Serikat pada 2009 silam.
WHO mengatakan, sebanyak 18.500 orang meninggal karena flu babi.
Namun, petugas medis Lancet memperkirakan jumlah korban antara 151.700 hingga 575.400.
Tinjauan Lancet ini berdasarkan perkiraan kematian di Afrika dan Asia Tenggara yang tidak diperhitungkan oleh WHO.
Wabah itu dinyatakan sebagai pandemi pada Juni 2009 dan dipertimbangkan pada Agustus 2010, ternyata tidak mematikan seperti yang ditakutkan pertama kali.
Baca: Positif Corona, Wali Kota Tanjungpinang Alami Batuk & Sesak Napas, Hasil Rapid Test Non-Reaktif
Baca: Tips Mengasuh Anak agar Tidak Stres Selama Wabah Virus Corona
Vaksin untuk wabah ini juga sudah ditemukan.
Namun, Eropa dan WHO dikritik karena bereaksi terlalu berlebihan padahal setiap tahunnya ada epidemi influenza yang menewaskan 250.000 hingga 500.000 orang itu.
Senin (13/4/2020) lalu, Tedros mengeluhkan penggandaan kasus yang terjadi pada sejumlah negara setiap tiga atau empat hari.
Dia menekankan bahwa jika negara-negara ini mau berkomitmen untuk menemukan kasus lebih cepat, menguji, mengisolasi dan merawat serta melacak pasti bisa mengendalikan pandemi Covid-19.
Setidaknya lebih dari setengah populasi bumi tinggal di rumah demi menghindari penularan Covid-19.
Menurut Worldometers pada Selasa (14/4/2020), dunia telah mencatatkan 1.924.662 kasus Corona.
Baca: MA, Kejagung dan Kemenkumham Sepakat Gelar Sidang Online Selama Pandemi Corona
Baca: Di Tengah Pandemi Corona, Kapal Pesiar Misterius Terlihat Lintasi Perairan Raja Ampat
Sementara itu jumlah kematian mencapai 119.691 dan angka kesembuhan sebanyak 445.005.
Amerika Serikat memiliki jumlah infeksi dan kematian terbanyak di dunia.
Jarak jumlahnya pun sangat jauh dari Spanyol dan Italia, yakni 586.941 untuk jumlah kasus infeksinya sendiri.
"Keterhubungan global kita berarti risiko pengenalan kembali dan kebangkitan penyakit ini akan terus berlanjut," jelas Tedros memperingatkan.
Tedros mengatakan bahwa meski virus corona sangat cepat, namun virus ini juga melambat dengan sangat lambat.
"Dengan kata lain, jalan turun jauh lebih lambat daripada naik," katanya.
Tedros merujuk pada langkah-langkah kontrol harus dilonggarkan secara perlahan dan masih dengan pengamatan yang ketat.
Menurutnya, langkah ketat dalam mengontrol pandemi tidak seinstan itu, butuh waktu untuk benar-benar memastikan.
"Langkah-langkah pengendalian hanya dapat dicabut jika langkah-langkah kesehatan masyarakat yang tepat ada, termasuk kapasitas yang signifikan untuk pelacakan kontak," katanya.
Baca: Khawatir Kebangkitan Covid-19, WHO Ingatkan Jangan Buru-buru Longgarkan Lock Down
Baca: Bisakah Lemon, Mangga dan Durian Cegah Infeksi Virus Corona? Begini Penjelasan WHO
Namun terlepas dari semua upaya kontrol sosial itu, WHO mengakui bahwa vaksin masih menjadi pilihan paling efektif dalam mengendalikan wabah.
Vaksin diperkirakan setidaknya 12 hingga 18 bulan lagi.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)