TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, memprediksi Indonesia akan terlambat pulih dari pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19).
Hal ini, karena pemerintah tidak secara maksimal melayani kesehatan masyarakat.
Hasil studi yang dilakukan oleh Amrta Institute, Lokataru Foundation, YLBHI, LBH Jakarta, Rujak Center for Urban Studies dan Urban Poor Consortium mengungkapkan bahwa 88,4 % responden khawatir layanan kesehatan tidak mampu menampung warga yang sakit.
Baca: Gubernur DKI Jakarta: Insya Allah Kita Segera Bebas dari Pandemi Ini
“Pandemi COVID-19 di Indonesia memunculkan kekhawatiran di masyarakat mengenai ketidakmampuan fasilitas kesehatan menampung dan melayani pasien,” kata dia, di diskusi “Warga Khawatir Layanan Kesehatan Tidak Mampu Menampung Korban Covid-19”, Senin (4/5/2020).
Dia menjelaskan, tingginya kekhawatiran warga terhadap kemampuan layanan kesehatan bersumber dari beberapa hal diantaranya; keterbatasan jumlah tes, pasokan Alat Perlindungan Diri bagi tenaga medis dan masih terbukanya jalur transportasi dan mobilitas manusia.
Pengujian yang dilakukan Indonesia dibandingkan dengan 10 negara terbanyak korban COVID-19 menunjukkan bahwa persentase pengujian di Indonesia adalah sangat kecil. Persentase dimaksud adalah perbandingan tes yang dilakukan dengan populasi.
“Tes (Covid-19,-red) terbatas. Tes terbatas tidak akurat, karena pemerintah (melakukan,-red) rapid test menggunakan darah dan bukan melakukan swap dari cairan hidung dan sekitarnya,” tuturnya.
Baca: Cerita di Balik Viralnya Rumah Bagus di Dairi Sumut yang Dilabeli Keluarga Miskin Penerima Bansos
Sejumlah negara seperti Italia, Jerman dan Spanyol sudah melakukan tes terhadap 3 % dari seluruh populasi, Amerika Serikat dan Russia sudah melakukan tes terhadap sekitar 2 % penduduknya. Sedangkan tes di Indonesia belum mencapai 0,1 %.
Hasil yang sama muncul saat Indonesia dibandingkan dengan seluruh negara di Asia Tenggara. Singapura dan Brunei menjadi negara terbanyak melakukan tes (sekitar 3 % dari populasi), sedangkan Indonesia baru menguji 0,0318 % penduduknya.
Baca: Komisi IX DPR Raker Tertutup dengan Menkes Bahas Penanganan Corona
Jumlah ini jauh dibawah Vietnam yang sudah menguji 0.2681 % penduduknya. Berkat pengujian intensif dan kebijakan social distancing yang ketat pada 26 April 2020, Vietnam kini sudah mulai membuka sebagian kegiatan ekonominya.
“Data orang belum dites dikeluarkan menimbulkan kesan Indonesia sudah tes massal. Padahal ini manipulasi data ODP (Orang Dalam Pemantauan,-red). Bukan berarti pernah di tes. Dia (ODP,-red) didata (orang,-red) dari luar negeri atau pernah kontak (dengan penderita Covid-19,-red)” tuturnya.
Data Kementerian Kesehatan per 29 April 2020 menunjukkan terdapat 252.238 Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP). Dengan kemampuan melakukan tes sebanyak kurang lebih 3.000 per hari, maka dibutuhkan waktu 84 hari (3 bulan) untuk melakukan pengujian hanya pada ODP dan PDP yang tercatat sampai tanggal 29 April 2020.
Menguji ODP dan PDP sangat penting dilakukan karena berbagai penelitian menunjukkan besarnya angka penderita positif COVID-19 yang tidak menunjukkan gejala atau bergejala ringan.
Dia mengungkapkan, jumlah tes yang memadai sangat dibutuhkan untuk menghasilkan estimasi yang tepat dan menghasilkan respon kebijakan pemerintah yang juga tepat.