News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Virus Corona

YLBHI: Masyarakat Khawatir Layanan Kesehatan Tak Mampu Tampung Pasien Covid-19

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Relawan Indonesia Bersatu Lawan Covid-19 Denna Pungki (21) memakai Alat Pelindung Diri (APD) saat ditemui di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Rabu (29/4/2020). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, memprediksi Indonesia akan terlambat pulih dari pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19).

Hal ini, karena pemerintah tidak secara maksimal melayani kesehatan masyarakat.

Hasil studi yang dilakukan oleh Amrta Institute, Lokataru Foundation, YLBHI, LBH Jakarta, Rujak Center for Urban Studies dan Urban Poor Consortium mengungkapkan bahwa 88,4 % responden khawatir layanan kesehatan tidak mampu menampung warga yang sakit.

Baca: Gubernur DKI Jakarta: Insya Allah Kita Segera Bebas dari Pandemi Ini

“Pandemi COVID-19 di Indonesia memunculkan kekhawatiran di masyarakat mengenai ketidakmampuan fasilitas kesehatan menampung dan melayani pasien,” kata dia, di diskusi “Warga Khawatir Layanan Kesehatan Tidak Mampu Menampung Korban Covid-19”, Senin (4/5/2020).

Dia menjelaskan, tingginya kekhawatiran warga terhadap kemampuan layanan kesehatan bersumber dari beberapa hal diantaranya; keterbatasan jumlah tes, pasokan Alat Perlindungan Diri bagi tenaga medis dan masih terbukanya jalur transportasi dan mobilitas manusia.

Pengujian yang dilakukan Indonesia dibandingkan dengan 10 negara terbanyak korban COVID-19 menunjukkan bahwa persentase pengujian di Indonesia adalah sangat kecil. Persentase dimaksud adalah perbandingan tes yang dilakukan dengan populasi.

“Tes (Covid-19,-red) terbatas. Tes terbatas tidak akurat, karena pemerintah (melakukan,-red) rapid test menggunakan darah dan bukan melakukan swap dari cairan hidung dan sekitarnya,” tuturnya.

Baca: Cerita di Balik Viralnya Rumah Bagus di Dairi Sumut yang Dilabeli Keluarga Miskin Penerima Bansos

Sejumlah negara seperti Italia, Jerman dan Spanyol sudah melakukan tes terhadap 3 % dari seluruh populasi, Amerika Serikat dan Russia sudah melakukan tes terhadap sekitar 2 % penduduknya. Sedangkan tes di Indonesia belum mencapai 0,1 %.

Hasil yang sama muncul saat Indonesia dibandingkan dengan seluruh negara di Asia Tenggara. Singapura dan Brunei menjadi negara terbanyak melakukan tes (sekitar 3 % dari populasi), sedangkan Indonesia baru menguji 0,0318 % penduduknya.

Baca: Komisi IX DPR Raker Tertutup dengan Menkes Bahas Penanganan Corona

Jumlah ini jauh dibawah Vietnam yang sudah menguji 0.2681 % penduduknya. Berkat pengujian intensif dan kebijakan social distancing yang ketat pada 26 April 2020, Vietnam kini sudah mulai membuka sebagian kegiatan ekonominya.

“Data orang belum dites dikeluarkan menimbulkan kesan Indonesia sudah tes massal. Padahal ini manipulasi data ODP (Orang Dalam Pemantauan,-red). Bukan berarti pernah di tes. Dia (ODP,-red) didata (orang,-red) dari luar negeri atau pernah kontak (dengan penderita Covid-19,-red)” tuturnya.

Data Kementerian Kesehatan per 29 April 2020 menunjukkan terdapat 252.238 Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP). Dengan kemampuan melakukan tes sebanyak kurang lebih 3.000 per hari, maka dibutuhkan waktu 84 hari (3 bulan) untuk melakukan pengujian hanya pada ODP dan PDP yang tercatat sampai tanggal 29 April 2020.

Menguji ODP dan PDP sangat penting dilakukan karena berbagai penelitian menunjukkan besarnya angka penderita positif COVID-19 yang tidak menunjukkan gejala atau bergejala ringan.

Dia mengungkapkan, jumlah tes yang memadai sangat dibutuhkan untuk menghasilkan estimasi yang tepat dan menghasilkan respon kebijakan pemerintah yang juga tepat.

Sementara itu, kata dia, jumlah tes yang rendah dikhawatirkan menghasilkan estimasi yang lebih rendah dari apa yang sebenarnya terjadi dan ujungnya menghasilkan respon kebijakan yang tidak tepat.

“Tes lama (dilakukan,-red), karena ada keputusan Menkes untuk mengatakan seluruh tes positif dikeluarkan oleh (pemerintah,-red) pusat. (Penderita,-red) positif lebih penting diketahui cepat. Menambah jumlah laboratorium, tetapi tidak ada membuka data,” ujarnya.

Baca: Wapres AS Mike Pence Ungkap Alasan Dirinya Tak Pakai Masker saat Kunjungan ke Rumah Sakit

Pada awal pandemi Covid-19 di Indonesia, dia menambahkan, masih terbukanya jalur transportasi dan mobilitas manusia. Hal ini akan mengakibatkan virus tersebut akan menyebar hingga ke daerah.

“Di daerah akan terjangkit, tetapi pemerintah tidak memikirkan. Pemerintah memikirkan ekonomi. Bagaimana, kota akan tetap penuh dan membiayai orang yang tinggal di kota. Tidak memperhatikan penyebaran (Covid-19,-red) ke desa. Menambah parah dan menghambat pemulihan,” tambahnya.

Untuk diketahui, survei dilakukan dengan cara menyebar kuesioner online, memperoleh respon sebanyak 1.110 buah dari 34 provinsi di Indonesia, respon diolah menggunakan SPSS IBM 24. Masukan berupa teks dianalisis menggunakan word cloud.

Studi literatur dilakukan untuk membantu memberikan konteks pada hasil penelitian. Responden 58,2 % laki-laki, 40,8 perempuan. 98,1 % usia produktif (23-60 tahun). Kuesioner online dibuka pada 13-18 April 2020.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini