TRIBUNNEWS.COM - Para ilmuwan menerbitkan temuan tentang jenis virus Corona baru.
Temuan tersebut ditulis oleh para ilmuwan di Laboratorium Nasional Los Alamos, Amerika Serikat.
Duke University dan University of Sheffield di Inggris juga berkontribusi dalam penelitian tersebut.
Dilansir LA Times, mereka telah menemukan jenis virus Corona baru yang tampaknya lebih menular dari yang selama ini mewabah.
Baca: Awalnya Yakin Juli Berakhir, Jokowi Mulai Ragu Soal Akhir Pandemi dan Khawatir Gelombang Dua Corona
Baca: Dituduh Sebagai Sumber Virus Corona, China Sebut Menlu AS Hanya Menggertak
Mutasi Covid-19 yang dimaksud adalah D641G.
Menurut laporan, awalnya virus baru ini muncul di Eropa pada Februari 2020, sebelum dibawa ke East Coast, Amerika Serikat.
Kemudian, D6416 telah menjadi pandemi yang dominan.
Disebutkan, D641G mempengaruhi lonjakan pada bagian luar virus.
Itu memungkinkannya untuk menyusup ke sel-sel pernapasan.
Bette Korber, ahli biologi komputasi di Los Alamos yang memimpin penelitian, menerangkan ketika mutasi virus tersebut memasuki suatu populasi, mereka akan secara cepat mengambil alih epidemi lokal.
Alhasil, viruspun lebih mudah menular.
Bukan hanya jenis baru yang menyebar lebih cepat, D641G juga membuat orang rentan terinfeksi virus untuk kedua kalinya.
Penulis laporan mengatakan, mereka berbagi penelitian via online karena mereka merasakan kebutuhan mendesak akan peringatan dini tentang virus.
Baca: Cara Mengurangi Gangguan Kecemasan akibat Pandemi Corona Menurut Ahli: Menerima dan Batasi Informasi
Mereka memastikan perawatan di seluruh dunia efektif dalam menumpas virus baru ini.
"Ini mengkhawatirkan, karena kita melihat bentuk virus yang bermutasi muncul dengan sangat cepat, dan selama bulan Maret menjadi bentuk pandemi yang dominan," kata Korber.
Penelitian yang dirilis di BioRviv pada Kamis (30/4/2020) itu didasarkan pada analisis lebih dari 6.000 rangkaian virus Corona dari seluruh dunia.
Dari sekuens tersebut, para ilmuwan mengidentidikasi 14 mutasi, meskipun D641G adalah fokus utama penelitian.
"Kabar ini sangat memukul, tapi tolong jangan berkecil hati karenanya," tulis Korber melalui akun Facebook-nya.
Meskipun begitu, studi baru ini tidak menunjukkan apakah D641G lebih mematikan atau tidak.
Tidak disebutkan pula apakah pengobatan pada pasien virus Corona awal dengan mutasinya memiliki tingkat yang sama.
Peneliti Inggris Sebut Virus Corona Lebih Berbahaya Jika Menyerang Pria dan Penderita Obesitas
Virus Corona cenderung lebih mungkin membunuh pria dan orang obesitas, menurut sebuah studi.
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan di medRxiv.org pada Selasa (28/4/2020) lalu, pria atau orang obesitas adalah faktor signifikan yang terkait dengan kematian di rumah sakit Inggris.
Faktor ini sebelumnya tidak terindikasi pada kasus Covid-19 di China.
"Mereka yang memiliki kondisi yang lebih buruk seringnya adalah yang berusia lanjut, pria, dan orang yang obesitas," tulis studi.
Baca: 5 Kondisi Kulit yang Dikaitkan sebagai Gejala Virus Corona
Baca: Cara Menjaga Psikologis Keluarga di Masa Pandemi Virus Corona
Dilansir SCMP, peningkatan keparahan pada pasien pria terlihat di semua usia.
"Meskipun angka kematian menurut usia banyak terjadi pada orang tua, sebagian besar pasien ini dirawat di rumah sakit dengan gejala Covid-19 dan tidak meninggal," studi mengatakan.
Para peneliti percaya, angka kematian orang obesitas lebih banyak daripada kelompok lain dalam kasus Covid-19.
Sebab, fungsi paru-paru mereka berkurang dan terjadi lebih banyak peradangan pada jaringan adiposa.
Jaringan adiposa adalah jaringan lemak yang ditemukan di bawah kulit dan di sekitar organ internal.
Kondisi ini menyebabkan reaksi yang berlebihan pada sistem kekebalan tubuh, yang berpotensi mengancam jiwa.
Penelitian ini dipimpin oleh para profesor dari Edinburgh University, Liverpool University dan Imperial College London.
Riset didasarkan pada data yang diperoleh dari hampir 17.000 pasien Covid-19 di 166 rumah sakit di Inggris, antara 6 Februari 2020 dan 18 April 2020.
Kelompok ini mewakili hampir 15 persen dari semua orang yang telah dites positif virus Corona di Inggris dan 28 persen dari pasien rawat inap di rumah sakit.
Lebih dari setengah peserta memiliki komorbiditas, seperti penyakit jantung kronis, diabetes, dan penyakit paru kronis non-asma.
Sepertiga pasien telah meninggal.
Sementara itu, 17 persen terus menerima perawatan.
Setengah dari mereka dipulangkan.
"Penelitian kami memberikan gambaran luar biasa tentang penyakit dan faktor risiko, dan akan mendukung sejumlah besar penelitian," kata Peter Openshaw, profesor Kedokteran Eksperimental di Imperial College London.
Meskipun telah diterbitkan, penelitian ini belum ditinjau oleh rekan peneliti lain dan masih memerlukan riset lebih lanjut.
(Tribunnews.com/Citra Agusta Putri Anastasia)