Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta mengatakan rencana pemerintah memberikan kelonggaran aktivitas bagi warga berusia di bawah 45 tahun selama pandemi Covid-19 membingungkan masyarakat.
Sukamta merujuk dulu pemerintah memilih memberlakukan PSBB yang membatasi kegiatan masyarakat dan membatasi transportasi.
Akan tetapi kemudian muncul pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyebut relaksasi PSBB, serta Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga kembali mengoperasionalkan moda transportasi.
"Saya tidak habis pikir, apa yang ada dibenak Pak Presiden dan jajarannya. Mengapa selalu keluar statemen yang membuat bingung masyarakat. Masih belum selesai kebingungan masyarakat, Ketua Gugus Tugas sampaikan rencana longgarkan aktivitas bagi warga usia dibawah 45 tahun.
Kemudian Presiden berstatemen pelonggaran PSBB agar dilakukan secara hati-hati dan tidak tergesa-gesa," ujar Sukamta, kepada Tribunnews.com, Rabu (13/5/2020).
"Betapa hal ini semakin membingungkan, tidak jelas siapa yang jadi komando tertinggi dalam situasi krisis seperti ini. Ini semakin memperkuat dugaan pemerintah hingga hari ini tidak punya konsep untuk tangani Covid-19, tidak punya kriteria terhadap situasi yang dihadapi, tidak punya tolak ukur untuk mengevaluasi kebijakan yang sudah dilakukan," imbuhnya.
Sukamta mempertanyakan data yang pernah disampaikan oleh juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada 1 Mei silam terkait kasus meninggalnya positif Covid-19 paling banyak terjadi kelompok usia 30-59 tahun.
Baca: Mbah Mijan Kesal Disebut Bakal Bernasib Sama dengan Roy Kiyoshi yang Meramal Malah Terjerat Nakoba
Baca: Mantan Kiper Arsenal Sebut Virus Corona Bukan Masalah Besar Bagi Pemain Sepak Bola
Baca: Kemendikbud: Pandemi Jadi Momentum Tingkatkan Kemampuan Pembelajaran Daring
Dengan kata lain, hal tersebut berarti menunjukkan di Indonesia usia dibawah 45 tahun termasuk rawan. Namun, Sukamta menilai bisa saja pemerintah memiliki data-data yang menunjukkan usia 45 tahun ke bawah aman untuk berkaktivitas lagi.
"Hanya data-data tersebut masih disimpan dan tidak dipublikasikan, ini yang menjadikan statemen yang keluar meragukan banyak pihak," kata dia.
Menurut anggota Komisi I DPR RI tersebut semestinya pemerintah sebelum membuat berbagai statemen yang mengarah kepada pelonggaran kebijakan PSBB, harus melihat dulu seberapa jauh kebijakan yang selama ini diberlakukan mampu menekan perkembangan Covid-19.
"Setiap hari angka positif Covid-19 masih fluktuatif, bahkan pada Sabtu (9/5) ada penambahan 533 kasus yang merupakan rekor sejauh ini. Sementara beberapa kali disampaikan oleh Jubir ada kendala di sejumlah laboratorium karena kehabisan reagen untuk melakukan tes swab," kata dia.
"Jangan-jangan update angka Covid-19 yang naik turun selama ini karena persoalan keterbatasan jumlah tes yang bisa dilakukan.
Jika ini yang terjadi, berarti angka-angka yang diumumkan tiap hari tidak bisa jadi ukuran keberhasilan kebijakan PSBB yang diberlakukan di sejumlah daerah. Jadi kalau mau longgarkan kebijakan ini apa dasarnya," katanya lagi.
Sukamta menegaskan apabila alasan melakukan pelonggaran karena pertimbangan ekonomi, justru hal tersebut dapat menjadi bumerang.
Dia melihat dua bulan terakhir belum ada kemajuan yang terlihat dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sudah banyak yang terpukul.
Menurutnya ketika pemerintah serampangan untuk melonggarkan PSBB, yang dikhawatirkan adalah ledakan kasus positif Covid-19.
Penanganan Covid-19 yang berlarut-larut imbasnya juga akan memperburuk kondisi ekonomi, sektor pariwisata, sektor pendidikan. Sehingga kerugian secara sosial ekonomi akan melonjak.
Oleh karenanya, Sukamta menegaskan yang harus dibenahi sebenarnya adalah sistem komando pemerintah yang selama ini membingungkan masyarakat.
"Terlihat Gugus Tugas yang dibentuk sejak awal oleh Presiden, ternyata malah dibuat bingung oleh kebijakan yang simpang siur di kementerian," kata dia.
Selain itu, pemerintah perlu segera memperjelas grand desain penanganan Covid-19, yang didalamnya memuat kriteria, tahapan, ukuran dan protokol yang jelas. Serta pemerintah harus disiplin dengan langkah-langkah yang dibuat dan dievaluasi secara berkala berdasar kriteria dan ukuran yang telah ditetapkan.
"Jangan sampai masyarakat diminta untuk disiplin tetapi pemerintah sendiri tidak mampu disiplin. Jangan sampai karena hanya mengejar keuntungan ekonomi sesaat membuat plin plan dalam kebijakan. Keselamatan rakyat harus jadi prioritas paling utama," pungkasnya.