TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana relaksasi tempat ibadah yang digaungkan Menteri Agama Fachrul Razi didukung oleh Persaudaraan Alumni 212.
Menurut mereka jangan sampai ada diskriminasi saat pemerintah membuka akses bandara tetapi rumah ibadah tidak dibuka.
"Sebab kalau tidak ini bisa jadi bom waktu pembangkangan massal umat Islam karena merasa ada diskriminasi kebijakan," ujar Ketua Persaudaraan Alumni 212, Slamet Maarif, Rabu(13/5/2020).
Ia pun berharap wacana tersebut bisa cepat direalisasikan dan dikomunikasikan dengan pihak terkait termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Penerbangan buka, bandara buka, transportasi longgar, mal buka dan lainnya sementara tempat ibadah masih ditutup, ibadah diawasi, kacau ini. Hati-hati kalau
menyangkut urusan agama ini sangat sensitif." ujar Slamet.
Untuk diketahui, Menag Fachrul Razi berencana membuka kembali rumah ibadah seperti masjid di tengah wabah virus corona. Masjid akan dibolehkan kembali dipakai untuk salat berjemaah.
Rencana itu akan diberlakukan saat kebanyakan daerah di Indonesia memberlakukan pembatasan
sosial berskala besar (PSBB).
Namun usulan itu masih sebatas ide dan belum diajukan resmi kepadaPresiden Jokowi.
Baca: Masjid Istiqlal di Atas Reruntuhan Benteng Pertahanan Belanda
Baca: Ada yang Usul Relaksasi Pelaksanaan Ibadah, Bisakah Salat Idul Fitri Berjamaah Tahun Ini Digelar?
Rencana relaksasi di rumah ibadah bisa saja diajukan seiring pemberlakuan relaksasi untuk sektor lainnya saat masa pandemi.
DMI: Masjidil Haram dan Masjid Nabawi Saja Ditutup
Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI) Imam Addaruquthni angkat bicara perihal gagasan relaksasi tempat ibadah.
Imam mengatakan seharusnya para pejabat negara dan anggota DPR untuk memikirkan risiko hingga paling kecil terlebih dahulu terkait rencana tersebut.
"Hendaknya para pejabat negara dan anggota DPR menimbang sampai risiko sekecil apapun jika ingin
merelaksasi tempat berkumpulnya masyarakat publik, sebelum kondisi Covid-19 dinyatakan benar-benar
telah hilang atau selesai," ujar Imam.
Imam juga menyinggung sosok yang berkompeten menyatakan relaksasi fasilitas umum adalah Kepala
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Baca: Kabar Gembira Umat Islam, Masjidil Haram Bakal Segera Kembali Dibuka untuk Ibadah
Baca: Anggota DPR Minta Relaksasi Masjid di Tengah Pandemi Corona, Menag: Kami Akan Diskusikan
Karena hal tersebut, kata Imam, berhubungan dengan tanggung jawab institusional dan kompetensi posisional individual.
Apabila PSBB, kebijakan social, dan physical distancing, dinyatakan sebagai pola prinsipil dalam
mencegah penularan Covid-19, maka institusi atau pejabat yang melanggar atau mengusulkan
kebijakan tersendiri juga dapat dikenai sanksi administrasif atau hukum.
"Terkait masjid, bukan hanya di Indonesia, bahkan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi pun saat ini ditutup untuk para pengunjung (zairin) jamaah umrah dan juga masyarakat domestik Saudi sendiri.
Bahkan boleh jadi, karena menghindarkan bahaya penyebaran Covid-19, penyelenggaraan haji tahun ini ditiadakan," kata dia.
Oleh karena itu, Imam juga mengimbau agar Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19
Doni Monardo lebih intensif untuk berbicara kepada publik terkait sanksi bagi pihak yang mengusulkan
kebijakan sendiri dengan risiko menyebarkan Covid-19.
"Kepala Gugus Tugas kiranya lebih intensif berbicara ke publik atau presiden untuk menyatakan secara pasti sanksi yang bisa diancamkan atas
para pejabat, anggota DPR, pemerintah yang mengeluarkan kebijakan sendiri atau parsial dengan risiko
penyebaran Covid-19," jelasnya.
Istiqlal Butuh Jaminan, Andai Pun Dibuka Akan Pakai APD
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol Masjid Istiqlal Abu Hurairah mengaku menyambut
gembira jika memang relaksasi akan diberlakukan.
"Kami di Istiqlal tentu menyambut gembira kalau memang ada relaksasi," ujar Abu.
Abu menegaskan dibuka atau tidaknya Masjid Istiqlal ke depannya sangat bergantung dengan situasi dan kondisi terkait penyebaran Covid-19.
Menurut Abu, pihaknya bisa membuka Masjid Istiqlal untuk masyarakat umum kembali asalkan pemerintah pusat dan provinsi bisa mengatasi penyebaran wabah Covid-19.
Namun apabila tak ada pihak yang mampu menjamin tak akan timbul masalah baru termasuk
penyebaran Covid-19, maka Masjid Istiqlal tak akan dibuka.
"Kalau penyebaran Covid-19 sudah bisa diatasi, maka kami bisa buka kembali Masjid Istiqlal untuk umum. Kami belum bisa buka kalau tidak ada
pihak yang menjamin, takutnya timbul masalah baru lagi," jelasnya.
"Intinya kami butuh ada yang menjamin dan yang paling tau situasi dan keadaan kan pemerintah," imbuh Abu.
Seandainya Masjid Istiqlal memang akan dibuka nantinya, Abu memastikan pihaknya akan tetap
mematuhi protokol kesehatan.
Antara lain tetap menggunakan alat pelindung diri (APD) selama di masjid.
Usul Masjid yang Dibuka di Permukiman Warga
Sementara itu, Sekretaris Dewan Pengurus Masjid Agung Sunda Kelapa Ismed Hasan Putro
mengatakan sepakat perihal gagasan relaksasi masjid.
Namun, dia sepakat apabila relaksasi diutamakan bagi masjid yang berada di pemukiman warga.
"Jadi saya sepakat kalau relaksasi itu diutamakan untuk masjid-masjid di pemukiman di lingkungan yang terkontrol, oleh warga dan pengurusnya," ujar Ismed.
Ismed beralasan masjid di pemukiman masih dapat dikontrol siapa saja jemaah yang datang.
Seperti ketika ada orang asing yang ingin menunaikan salat disitu, maka yang bersangkutan akan mendapat
perlakuan khusus.
"Ada perlakuan khusus, seperti tidak boleh salat di dalam, harus di luar, kemudian harus pakai masker
dan ketentuan lainnya," kata dia.
Di sisi lain, Ismed menilai relaksasi akan sulit dilakukan kepada masjid terbuka, yang bersifat umum atau
didatangi oleh jemaah dari berbagai lokasi.
Dia mencontohkan Masjid Agung Sunda Kelapa, Masjid Istiqlal, ataupun Masjid Agung Al Azhar yang termasuk dalam masjid terbuka atau umum.
Menurutnya harus ada kehati-hatian untuk memutuskan apakah masjid seperti itu akan dibuka atau tidak. Jangan sampai relaksasi masjid, kata dia, justru menyebabkan adanya penyebaran Covid-19 yang masif.
"Ini yang mestinya menurut hemat saya harus tetap dilakukan pengawalan dan pengawasan yang ketat. Jangan sampai jamaah yang datang nanti menjadi faktor dominan dalam penyebaran virus yang berbahaya ini," kata dia.
"Pada masjid yang terbuka untuk umum, seperti Masjid Agung Sunda Kelapa, Masjid Istiqlal, dan Masjid
Agung Al Azhar itu tetap harus ada pengawasan yang hati-hati untuk dibuka atau tidaknya.Yang
jamaahnya itu tidak bisa dikontrol, tidak bisa diketahui datang dari mana dan perihal kesehatannya,"
ujarnya.(Tribun Network/dit/wly)