TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berjuang di garda terdepan dalam merawat pasien korban corona atau covid-19 namun kondisi perawat masih memprihatinkan.
Termasuk dalam urusan Tunjangan Hari Raya (THR) yang harusnya sudah diterima perawat menjelang Lebaran 2020.
Untik itu, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mengingatkan pengusaha yang bergerak di sektor jasa kesehatan, baik rumah sakit, klinik, dan lembaga pendidikan tinggi keperawatan, agar memenuhi kewajiban membayar THR bagi perawat sesuai peraturan Menteri Tenaga Kerja.
Merujuk pada peraturan tersebut, seluruh perawat yang berstatus karyawan/pegawai tetap maupun kontrak dalam perspektif hubungan industrial, berhak atas THR.
Sehingga PPNI mengecam dan menuntut sanksi bagi pengusaha jasa kesehatan yang sengaja tidak memberikan THR kepada perawatnya.
"Mengecam keras pengusaha yang mengabaikan, menghindari, dan sengaja untuk tidak memberikan THR kepada segenap perawat dengan berbagai alasan atau dalih di masa pandemi ini," demikian disebutkan dalam keterangan tertulis Badan Bantuan Hukum PPNI yang ditandatangani Ketua BBH PPNI, M. Siban dan Sekretaris Maryanto, Selasa (19/5/2020).
Apalagi saat ini perawat merupakan garda terdepan dan benteng terakhir perjuangan melawan Covid-19.
"Meminta kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Bapak Presiden Joko Widodo, melalui Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi RI untuk memperhatikan, mengawasi, dan menegaskan agar para pengusaha bidang jasa kesehatan dapat memberikan THR tepat waktu dan besarannya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan," kata Maryanto.
Ia menghimbau seluruh perawat yang tidak dibayarkan THR dan hak-hak lainnya agar mengadu ke posko pengaduan di Graha PPNI, Jalan Raya Lenteng Agung Jakarta Selatan, untuk diteruskan ke Kemenaker.
Unjuk rasa
Sementara itu dilaporkan puluhan tenaga medis termasuk perawat dari berbagai bagian Rumah Sakit (RS) Omni Alam Sutera, Serpong Utara, Tangerang Selatan (Tangsel), melakukan aksi unjuk rasa.
Ropiati, tenaga medis di bidang farmasi, yang ikut berunjuk rasa, mengatakan, sejak April 2020, sudah ada puluhan tenaga medis yang di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) secara sepihak.
Ropiati bahkan menyebutkan, bentuk PHK-nya, mereka dipaksa menandatangani surat pengunduran diri.
"Kami itu sejak April mulai banyak PHK, sepihak. Kami disuruh tanda tangan surat pengunduran diri. Itu harusnya tdiak ada. Tapi ada sebagian yang sudah menandatangani seperti itu. Sudah puluhan, sudah banyak. Betul dipaksa," ujar Ropiati seperti dikutip dari Tribun Jakarta.
Selain perkara PHK, para tenaga medis itu juga memprotes pembayaran tunjangan hari raya (THR) yang dicicil dua tahap, pada bulan Mei dan Desember.
Reni, perwakilan serikat pekerja RS Omni Alam Sutera, mengatakan, pihaknya sudah mengirim surat untuk musyawarah dengan pihak manajemen, namun belum ada jawaban.
"Tadi saya sudah mencoba bertemu untuk membicarakan THR. Dari HRD menyatakan lagi libur jadi tidak bisa bertemu hari ini."
"Kami kan sudah ngirim surat kemarin. Kami memang menolak banget THR yang dibayarkan dua kali itu, terus meminta kejelasan secara transparan," ujar Reni.
Awak media sudah berusaha menemui pihak manajemen RS Omni Alam Sutera, namun sekuriti setempat mengarahkan agar menghubungi lewat telepon.
"Untuk minta keterangan saat ini tidak bisa karena semua divisi sedang WFH," ujar sekuriti.
Korban perawat berjatuhan
Terpisah, Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhillah mengungkapkan total sudah 20 orang perawat meninggal dunia dalam tugas pelayanan pasien Covid-19 di seluruh Indonesia.
"Yang sudah wafat 20 orang perawat di seluruh Indonesia, yang terkait dengan pelayanan Covid-19," ujar dia kepada Kompas.com ketika dihubungi pada Senin (18/5/2020).
Harif berujar, selain para perawat yang wafat, PPNI juga telah mengantongi data soal keadaan para perawat sebagai salah satu ujung tombak penanggulangan Covid-19 bersama dokter dan tenaga medis lain.
Banyak yang berstatus OTG (orang tanpa gejala), ODP (orang dalam pemantauan), PDP (pasien dalam pengawasan), maupun mereka yang saat ini positif Covid-19 dan sebagian kecil yang dinyatakan sembuh.
"OTG ada 116 perawat, ODP 685 perawat, PDP 48 perawat, positif 59 perawat, yang dirawat 68 perawat (PDP dan positif), yang sembuh 12," kata Harif.
Jumlah itu kemungkinan lebih besar dari data yang saat ini tercatat di PPNI. Sebab, pendataan dilakukan secara sukarela melalui mekanisme internal.
"Data tersebut mungkin tidak faktual karena pemantauan internal ini diisi secara volunteer, mungkin masih banyak perawat yang enggak mengisi," kata Harif.
Mengenai angka ini, Harif khawatir suatu hari jumlahnya akan melejit.
Kekhawatirannya berkaitan dengan rencana pemerintah menerapkan the new normal, pola hidup normal versi baru, yang meminta masyarakat hidup berdamai dan berdampingan dengan pandemi Covid-19.
Sebab, pemerintah sendiri melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy kemarin berpotensi akan melakukan "pengurangan PSBB", sesuatu yang diklaim berbeda dengan pelonggaran PSBB.
"Saya kira iya. 'New normal' dan pelonggaran pembatasan tanpa penerapan protokol yang ketat, bisa dimungkinkan secara teoretis, akan meningkatkan jumlah perawat yang terpapar Covid-19," kata Harif.
"Kita lihat konteks hari ini, orang-orang kita disiplinnya sangat kurang, PSBB belum dilonggarkan saja sudah banyak pelanggaran, apalagi jika nanti dilonggarkan?" imbuh dia.
Bukan hanya angka kematian perawat, namun tingkat kematian tenaga medis secara keseluruhan di Indonesia juga mengkhawatirkan.
"Tingkat kematian tenaga medis Indonesia ternyata sekitar 6,5 persen (dari total kematian akibat Covid-19), data dari The Conversation," ujar Harif.
"Itu tinggi sekali, sementara negara lain (rata-rata global kematian tenaga medis) 0,3 persen. Artinya, memang kita merasa tidak dilindungi kalau demikian caranya," tutupnya.
Sumber: Tribunnews.com/Kompas.com/Tribun Jakarta