"Pola pikir dan budaya itu yang kemudian memutar pola, bukan hanya sebagai alat inovasi dan teknologi tetapi juga sebagai dasar kebijakan dan diplomasi," tutur Sangkot.
Menurut Sangkot, jika ingin menjadikan sains sebagai panglima maka Indonesia perlu mengembangkan sains lebih dari apa yang terlihat saat ini.
"Kalau saya, kalau kita mau menjadikan sains panglima, kita harus mengembangkan sains lebih dari apa yang dianggap peran sains sebagai saat ini," kata Sangkot.
Baca: PB IDI Minta Pemerintah Evaluasi Pelaksanaan PSBB untuk Sektor Terkecualikan
Sangkot mengatakan, mayoritas masyarakat Indonesia beranggapan sains diaplikasikan menjadi industri.
"Kalau kita tanya di Indonesia, hampir semua mengatakan sains itu fungsinya adalah sebagai hulu dari proses industri, tujuan dari sains adalah aplikasi menjadi industri," kata Sangkot.
Sementara itu, jika melihat pada zaman Hindia-Belanda, yang dibangun adalah budaya ilmiah yang unggul.
Menurut Sangkot, dengan memiliki budaya ilmiah yang unggul maka kita dapat memperoleh berbagai manfaat.
"Kalau kita punya budaya ilmiah yang unggul, kita bisa gunakan untuk bermacam-macam, (mengenai) prediksi penyakit tersebut akan berkembang kemana, faktor-faktor penyakit yang baru, dan sebagainya," kata Sangkot.
Menjadikan Sains sebagai Panglima di Masa Pandemi Sudah Terlambat
Menurut Sangkot, untuk menjadikan sains sebagai panglima di masa pandemi, hal itu dinilai sudah terlambat.
"Kalau pada saat pandemi ini sudah terlambat karena sumber daya manusia kita di bidang biologi molekuler dan sebagainya sudah habis terserap untuk menangani pemeriksaan PCR dari Covid-19," kata Sangkot.
Sementara itu, menurut Sangkot ada banyak hal yang perlu mengedepankan saintifik.
"Sebetulnya banyak sekali yang perlu dilakukan saintifik tadi diangkat sekarang misalnya kita baru tau bagaimana hubungan antara rapid test berdasarkan adanya antibody dari Covid-19."
"Dengan ada atau tidaknya virus dari Covid-19 itu melalui deteksi PCR, kita perlu tahu," ujarnya.