TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat menggagas petisi penundaan Pilkada ke tahun 2021.
Pertimbangannya karena ancaman virus corona di tahun 2020 masih belum padam.
Dilihat pada Rabu (27/5) pukul 13.42 WIB, petisi di situs change.org tersebut sudah ditandatangani 729 orang.
Peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay mengatakan banyak hal yang melatarbelakangi petisi ini.
Salah satunya yaitu menyangkut proses penyelenggaraan pemilu yang runut dan sambung menyambung.
Penyelenggaraan pemilu kata dia tidak dapat disimpulkan hanya ketika pencoblosan saja. Tapi banyak rangkaian sebelum itu yang harus dikerjakan secara berurutan.
Baca: 340 Ribu Pasukan TNI-Polri Kawal New Normal di 4 Provinsi dan 25 Kabupaten/Kota
"Jangan menyimpulkan kerja itu hanya pada sekitar hari H, sebetulnya banyak sekali tahapan yang harus dikerjakan, semua harus runtut dan sambung menyambung," kata Hadar dalam diskusi virtual, Rabu (27/5/2020).
Pemerintah telah mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 yang menyatakan pelaksanaan pilkada akan dilakukan Desember 2020.
Baca: Soal Penerapan New Normal di Tengah Pandemi Covid-19, Pakar Ekonomi Beri Saran Ini
Artinya, segala persiapan harus dimulai dari bulan Juni. Di sisi lain, masih belum ada kepastian soal wabah virus corona.
Padahal menurut mantan Komisioner KPU RI ini, dalam prosesnya akan banyak pelibatan baik pihak penyelenggara, peserta, maupun pemilih yang membutuhkan komunikasi langsung tatap muka.
Baca: The New Normal Masuk Program Prioritas KSAU Marsekal TNI Fadjar Prasetyo
Jika itu dilakukan, maka sama saja menyimpangkan aturan social distancing yang dicetuskan pemerintah untuk menekan penyebaran corona.
Hal lainnya, dari sisi penyelenggara juga membutuhkan perlengkapan guna memastikan semua terlindungi dari ancaman penularan virus yang kasat mata itu.
"Juga membutuhkan banyak perlengkapan untuk memastikan semua terlindungi," ujar dia.
Perppu baru juga disebutnya tak memuat perubahan pasal - pasal mengenai teknis kepemiluan dalam Undang - Undang Pilkada.
Dengan kata lain, meski saat ini Indonesia sedang menghadapi pandemi virus, tapi tahapan pilkada masih dijalankan dengan ketentuan UU Pilkada untuk keadaan normal.
Tanpa mengubah proses pelaksanaan, maka tahapan dipastikan bakal melanggar protokol kesehatan Covid-19. Salah satu contohnya yaitu ajang kampanye yang membentuk kerumunan, jika dilakukan seperti kondisi normal akan berisiko menularkan virus antar individu.
"Jadi kalau kita simpulkan sederhana, banyak sekali hal yang harus dipersiapkan, apa bisa dilakukan dalam waktu pendek, mulai bulan Juni? Kesimpulan kami, ini tidak mungkin, karena itu kami mengambil posisi jangan memaksa penyelenggaraan di bulan desember 2020," pungkas Hadar.