TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menilai masalah penjemputan paksa jenazah PDP di berbagai daerah terjadi akibat ketidakpahaman masyarakat akan protokol kesehatan dan klasifikasi pasien tersebut.
"Saya menangkap fenomena ini bisa jadi akibat ketidakpahaman masyarakat atas klasifikasi pasien dan protokol yang seharusnya diterapkan pada kasus Covid-19," ujar Netty, ketika dihubungi Tribunnews.com, Rabu (10/6/2020).
Dia mengatakan proses sosialisasi atau dialog dengan keluarga, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan organisasi mesti dilakukan oleh pihak RS atau Gugus Tugas setempat, terutama tentang penatalaksanaan Covid-19.
Sosialisasi juga perlu dilakukan kepada masyarakat untuk mendukung dan sebaliknya untuk tidak melakukan diskriminasi atau viktimisasi terhadap warga dengan status ODP, PDP, bahkan pasien positif.
Baca: Gubernur Sulsel Perintahkan Buru Orang-orang yang Ambil Paksa Jenazah PDP Covid-19 di RS
Menurut politikus PKS tersebut pencegahan stigma harus dipastikan bersama adanya pendampingan keluarga korban oleh aparat desa/kelurahan, dengan harapan pemerintah desa dapat mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Masyarakat perlu diedukasi tentang tata cara penanganan terhadap pasien positif dan pasien yang meninggal saat menjalani proses perawatan maupun pemulasaraan. Tentu semua dilakukan dengan mengedepankan kearifan budaya lokal di masing-masing wilayah," kata dia.
Di sisi lain, Netty mengatakan fenomena pengambilan paksa ini merupakan bentuk respon masyarakat atas lambatnya pemerintah dalam menangani pandemi.
Tak hanya itu, minim dan sulitnya kesempatan warga untuk mengikuti tes, lamanya hasil tes dan penegakan diagnostik juga berpotensi menjadi masalah.
Menurutnya, proses panjang yang harus ditempuh keluarga untuk mendapatkan kepastian status kesehatan keluarganya akan membebani masyarakat dari segi waktu dan biaya.
"Selain itu sering terjadi kesimpangsiuran informasi di tengah masyarakat terutama di daerah, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap penanganan Covid-19 semakin turun," kata dia.
"Maka dari itu demi keselamatan dan kebaikan bersama, saya berharap pemerintah, aparat, tokoh dan masyarakat untuk tetap tenang dan bergotong royong melawan Covid-19. Sehingga tidak terjadi lagi peristiwa pengambilan paksa pasien atau jenazah pasien oleh keluarga dan masyarakat," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, sekelompok warga yang berjumlah sekitar 100 orang ditetapkan sebagai orang dalam pemantauan (ODP) secara serentak.
Penetapan itu menyusul aksi ratusan orang yang nekat mengambil paksa jenazah pasien dalam pemantauan (PDP) di Makassar, Sulawesi Selatan.
Direktur RS Dadi Arman Bausat mengemukakan, peristiwa berawal ketika seorang PDP di Rumah Sakit Dadi Makassar, Sulawesi Selatan meninggal dunia.
PDP tersebut adalah rujukan dari Rumah Sakit Akademis Makassar dan masuk ke RS Dadi pada Senin (1/6/2020).
Ia dirujuk lantaran memiliki gejala mengarah ke Covid-19 seperti batuk, demam tinggi, sesak napas hingga muntah-muntah. Sempat dirawat dua hari, PDP tersebut meninggal, Rabu (3/6/2020).
RS digeruduk saat hendak urus jenazah dengan protap Covid-19. Pihak rumah sakit berencana akan mengurus dan mengkafani jenazah sesuai protap Covid-19.
Namun tiba-tiba sekelompok orang menggeruduk RS. Jumlah mereka sekitar 100 orang dan membawa senjata tajam.
Rumah sakit yang juga hendak mengambil sampel swab pasien akhirnya gagal karena digeruduk dan diintimidasi.
"Baru rencana akan dikafani, disalatkan dan dimakamkan protap Covid-19 di Maccanda, Gowa, eh, datang pihak keluarga langsung ambil paksa dan bawa pergi," tutur Arman.
Pihak rumah sakit tak bisa berbuat banyak dalam kondisi tersebut.
"Daripada dihalau, bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi saya perintahkan langsung, biarkan saja agar tidak terjadi pertumpahan darah," papar Arman.
Dari rekaman CCTV rumah sakit, terlihat tujuh orang masuk ruang ICU dan membawa pergi jenazah tersebut begitu saja.
Ratusan penjemput ditetapkan sebagai ODP
Juru bicara gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 Sulsel Ichsan Mustari mengatakan, para penjemput itu langsung ditetapkan sebagai orang dalam pemantauan (ODP).
Untuk mengantisipasi penularan, tim gugus tugas akan melakukan tracing pada keluarga dan rombongan yang mengawal kepulangan jenazah.
Tim gugus tugas juga akan memantau kondisi rombongan.
"Iya. Jadi pemerintah daerah tetap mendatangi keluarganya untuk memberikan edukasi seperti itu. Semuanya harus mengikuti protokol supaya penyebaran bisa diputus," ujar Ichsan.
Tindakan intimidasi dengan membawa senjata tajam itu disayangkan oleh Ichsan.
"Kami berharap semua harus saling menjaga karena tujuan kita di gugus tugas bagaimana menjaga protokol itu bukan untuk kita, tapi untuk masyarakat," kata Ichsan saat dihubungi Kompas.com, Kamis (4/6/2020).