TRIBUNNEWS.COM - Tempat-tempat wisata di Indonesia agaknya semakin ramai dikunjungi masyarakat seiring ramainya new normal diberlakukan.
Terbaru, pada Sabtu (14/6/2020) kemarin, tempat wisata di Puncak Bogor, Jawa Barat dipadati pengunjung.
Kemacetan pun tak terbendung, padahal pandemi virus corona di Indonesia belum berakhir.
Video kemacetan panjang yang mengular di kawasan Puncak Bogor pun beredar di jagat maya.
Satu di antara video yang dibagikan oleh akun @59detik pada hari ini, memperlihatkan ramainya warga di jalanan.
Mereka nampak memenuhi jalanan menaiki sepeda motor tanpa takut adanya ancaman Covid-19.
Bahkan, beberapa pengendara terlihat tidak menggunakan masker secara benar padahal berada di tempat umum.
Lantas apa yang membuat masyarakat nekat untuk mengunjungi tempat wisata?
Benarkah ada alasan menghilangkan penat setelah dibatasi saat aturan PSBB?
Sosiolog dari Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Dr Bagong Suyanto Drs MSi menanggapi ramainya tempat wisata kala new normal mulai diberlakukan.
Baca: Respons Sri Sultan Hamengkubuwono X Tahu Banyak Warga Kumpul di Malioboro tanpa Pakai Masker
Bagong menuturkan, ramainya tempat wisata sebenarnya tidak hanya terjadi di wilayah Jakarta saja.
Daerah Istimewa Yogyakarta juga mengalami, tepatnya di kawasan wisata Malioboro.
Bahkan, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwana X sempat menegur lantaran banyaknya orang yang berkunjung tidak memakai masker.
Bagong menilai, aksi masyarakat berbondong-bondong ke tempat wisata merupakan bentuk euforia semata.
"Sebenarnya tidak hanya terjadi di wilayah Jakarta saja, di Yogyakarta juga mengalaminya."
"Ini mungkin bentuk euforia setelah tiga bulan mereka PSBB dirumah, aktivitasnya dibatasi, jadi seolah mereka merayakan kebebasan itu," ungkap Bagong kepada Tribunnews, Senin (15/6/2020).
Baca: 68 Warga Tak Pakai Masker Diminta Tinggalkan Kawasan Malioboro Yogyakarta
Tetapi, menurut Bagong, tindakan yang dilakukan masyarakat tersebut sangat berisiko.
Sebab, bisa saja membuat ancaman gelombang virus corona baru di wilayah tersebut.
Penyebab lain masyarakat nekat melakukan itu, kata Bagong, karena memandang virus corona bukanlah sebuah ancaman.
"Masyarakat kita ini konstruksinya berbeda, mereka melihat ancaman yang ditakuti itu kasat mata."
"Jadi kaya virus corona dianggap tidak kasat mata."
"Itu yang membuat banyak masyarakat memilih beraktivitas tanpa memenuhi protokol kesehatan," tutur dosen di Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga ini.
Lantas bagaimana peran pemerintah seharusnya?
Bagong melanjutkan, alangkah lebih baik bila pemerintah mengintropeksi diri.
Terutama bagian pendekatan kepada masyarakat agar menaati kewajiban protokol kesehatan.
"Saya kira pemerintah harus intropeksi."
"Karena pendekatan yang dikembangkan pemerintah itu lebih pada pendekatan yang sifatnya regulatif dan kognitif yang mengancamkan sanksi," paparnya.
"Kalaupun meminta masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan, itu lebih ditempatkan sebagai kewajiban," sambung Bagong.
Baca: Italia Buka Gerbang untuk Pelancong Eropa, Ini Daftar Kawasan Wisata yang Sudah Dibuka
Menurutnya hal tersebut kurang efektif untuk terus-menerus dipraktikkan kepada masyarakat.
Pasalnya, masyarakat cenderung berperilaku menantang atau resistensi.
"Kalau makin disuruh itu makin muncul pula keinginan untuk melanggar, itu lazim terjadi."
"Ini yang pemerintah harus intropeksi mengembangkan pendekatan yang berbeda," tegasnya.
Bagong memberikan solusi dengan melakukan pendekatan yang berbasis memberikan penghargaan atau pujian.
Baca: Aturan New Normal di Mal dan Pasar Tradisional: Pakai Masker hingga Sarung Tangan Plastik
Ia mencontohkan, fungsi lain masker bukan hanya dikaitkan sebagai pelindung dari Covid-19.
Tetapi juga sebagai fungsi gaya hidup.
Misalnya masker yang memunculkan bentuk-bentuk kumis lucu seperti yang dikenakan oleh Wali Kota Surakarta F.X. Hadi Rudyatmo.
"Jangan bicara masker dari sisi medis saja."
"Tapi juga masker yang mempunyai sisi sosial seperti itu yang membuat orang lain tertawa," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Maliana)