News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Virus Corona

Tempat Wisata Ramai saat Kebijakan New Normal Mulai Diberlakukan, Efek Aktivitas Terbatas saat PSBB?

Penulis: Inza Maliana
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pesepeda menggunakan masker saat beraktivitas di kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta, Senin (8/6/2020). Pemda DIY telah mengeluarkan aturan bagi warga wajib menggunakan masker saat beraktifitas di luar rumah untuk mengurangi paparan virus Corona.

TRIBUNNEWS.COM - Tempat-tempat wisata di Indonesia agaknya semakin ramai dikunjungi masyarakat seiring ramainya new normal diberlakukan.

Terbaru, pada Sabtu (14/6/2020) kemarin, tempat wisata di Puncak Bogor, Jawa Barat dipadati pengunjung.

Kemacetan pun tak terbendung, padahal pandemi virus corona di Indonesia belum berakhir.

Video kemacetan panjang yang mengular di kawasan Puncak Bogor pun beredar di jagat maya.

Satu di antara video yang dibagikan oleh akun @59detik pada hari ini, memperlihatkan ramainya warga di jalanan.

Mereka nampak memenuhi jalanan menaiki sepeda motor tanpa takut adanya ancaman Covid-19.

Bahkan, beberapa pengendara terlihat tidak menggunakan masker secara benar padahal berada di tempat umum.

Lantas apa yang membuat masyarakat nekat untuk mengunjungi tempat wisata?

Benarkah ada alasan menghilangkan penat setelah dibatasi saat aturan PSBB?

Sosiolog dari Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Dr Bagong Suyanto Drs MSi menanggapi ramainya tempat wisata kala new normal mulai diberlakukan.

Sosiolog dari Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Dr Bagong Suyanto Drs MSi .

Baca: Respons Sri Sultan Hamengkubuwono X Tahu Banyak Warga Kumpul di Malioboro tanpa Pakai Masker

Bagong menuturkan, ramainya tempat wisata sebenarnya tidak hanya terjadi di wilayah Jakarta saja.

Daerah Istimewa Yogyakarta juga mengalami, tepatnya di kawasan wisata Malioboro.

Bahkan, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwana X sempat menegur lantaran banyaknya orang yang berkunjung tidak memakai masker.

Bagong menilai, aksi masyarakat berbondong-bondong ke tempat wisata merupakan bentuk euforia semata.

"Sebenarnya tidak hanya terjadi di wilayah Jakarta saja, di Yogyakarta juga mengalaminya."

"Ini mungkin bentuk euforia setelah tiga bulan mereka PSBB dirumah, aktivitasnya dibatasi, jadi seolah mereka merayakan kebebasan itu," ungkap Bagong kepada Tribunnews, Senin (15/6/2020).

Pesepeda menggunakan masker saat beraktivitas di kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta, Senin (8/6/2020). Pemda DIY telah mengeluarkan aturan bagi warga wajib menggunakan masker saat beraktifitas di luar rumah untuk mengurangi paparan virus Corona. (Tribunjogja.com/Hasan Sakri Ghozali)

Baca: 68 Warga Tak Pakai Masker Diminta Tinggalkan Kawasan Malioboro Yogyakarta

Tetapi, menurut Bagong, tindakan yang dilakukan masyarakat tersebut sangat berisiko.

Sebab, bisa saja membuat ancaman gelombang virus corona baru di wilayah tersebut.

Penyebab lain masyarakat nekat melakukan itu, kata Bagong, karena memandang virus corona bukanlah sebuah ancaman.

"Masyarakat kita ini konstruksinya berbeda, mereka melihat ancaman yang ditakuti itu kasat mata."

"Jadi kaya virus corona dianggap tidak kasat mata."

"Itu yang membuat banyak masyarakat memilih beraktivitas tanpa memenuhi protokol kesehatan," tutur dosen di Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga ini.

Ilustrasi virus corona. Herd immunity adalah kondisi ketika sebagian besar kelompok atau populasi manusia kebal terhadap suatu penyakit karena sudah pernah terpapar dan sembuh dari penyakit tersebut. (Pixabay/Tumisu)

Lantas bagaimana peran pemerintah seharusnya?

Bagong melanjutkan, alangkah lebih baik bila pemerintah mengintropeksi diri.

Terutama bagian pendekatan kepada masyarakat agar menaati kewajiban protokol kesehatan.

"Saya kira pemerintah harus intropeksi."

"Karena pendekatan yang dikembangkan pemerintah itu lebih pada pendekatan yang sifatnya regulatif dan kognitif yang mengancamkan sanksi," paparnya.

"Kalaupun meminta masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan, itu lebih ditempatkan sebagai kewajiban," sambung Bagong.

Baca: Italia Buka Gerbang untuk Pelancong Eropa, Ini Daftar Kawasan Wisata yang Sudah Dibuka

Menurutnya hal tersebut kurang efektif untuk terus-menerus dipraktikkan kepada masyarakat.

Pasalnya, masyarakat cenderung berperilaku menantang atau resistensi.

"Kalau makin disuruh itu makin muncul pula keinginan untuk melanggar, itu lazim terjadi."

"Ini yang pemerintah harus intropeksi mengembangkan pendekatan yang berbeda," tegasnya.

Bagong memberikan solusi dengan melakukan pendekatan yang berbasis memberikan penghargaan atau pujian.

Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo memakai masker berkumis sehingga terlihat seperti aslinya. Rudy memakai makser berkumis sehingga seperti aslinya setelah banyak warga yang mengajak dirinya foto bersama dan meminta melepas maskernya. (KOMPAS.com/LABIB ZAMANI)

Baca: Aturan New Normal di Mal dan Pasar Tradisional: Pakai Masker hingga Sarung Tangan Plastik

Ia mencontohkan, fungsi lain masker bukan hanya dikaitkan sebagai pelindung dari Covid-19.

Tetapi juga sebagai fungsi gaya hidup.

Misalnya masker yang memunculkan bentuk-bentuk kumis lucu seperti yang dikenakan oleh Wali Kota Surakarta F.X. Hadi Rudyatmo.

"Jangan bicara masker dari sisi medis saja."

"Tapi juga masker yang mempunyai sisi sosial seperti itu yang membuat orang lain tertawa," pungkasnya.

(Tribunnews.com/Maliana)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini