TRIBUNNEWS.COM - Para peneliti Universitas Oxford, Inggris melakukan sebuah pengujian terhadap obat dexamethasone untuk pasien virus corona atau Covid-19.
Universitas Oxford dalam laman resminya menyebutkan, sebanyak 2.140 pasien diacak untuk menerima dexamethasone 6 mg sekali sehari selama sepuluh hari.
Kemudian, pasien-pasien tersebut dibandingkan dengan 4321 pasien yang diacak untuk perawatan biasa saja.
Di antara pasien yang menerima perawatan biasa saja, mortalitas 28 hari tertinggi pada mereka yang membutuhkan ventilasi sebanyak 41%.
Baca: Vaksin Corona Unggulan China Telah Selesaikan Dua Kali Tahap Uji Coba pada Manusia: Hasilnya Aman
Baca: Tiba di Indonesia WNI Kantongi Surat Sehat, Tapi Ternyata Positif Covid-19
Sedangkan pada pasien yang hanya membutuhkan oksigen sebanyak 25% dan terendah di antara mereka yang tidak memerlukan intervensi pernapasan sebanyak 13%.
Dari penelitian tersebut, para peneliti di Universitas Oxford menyimpulkan, 19 dari 20 pasien yang mengidap virus corona sembuh tanpa harus dilarikan ke rumah sakit.
Dikutip dari who.int, atas hasil uji klinis awal terhadap obat dexamethasone ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyambut baik.
"Ini adalah pengobatan pertama yang ditunjukkan untuk mengurangi angka kematian pada pasien dengan Covid-19 yang membutuhkan dukungan oksigen atau ventilator," ujar Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus.
"Ini adalah berita bagus dan saya mengucapkan selamat kepada Pemerintah Inggris, Universitas Oxford, dan banyak rumah sakit dan pasien di Inggris yang telah berkontribusi pada terobosan ilmiah yang menyelamatkan jiwa ini," lanjutnya.
Baca: Ancaman Lost Generation Akibat Covid-19, Jazilul Fawaid: Pendidikan Harus Jadi Prioritas
Baca: TRIBUNNEWSWIKI - Mengenal Dexamethasone, Obat yang Disebut Pakar Inggris Ampuh Lawan Corona
Dexamethasone adalah steroid yang telah digunakan sejak 1960-an untuk mengurangi peradangan dalam berbagai kondisi, termasuk gangguan peradangan dan kanker tertentu.
Obat ini telah terdaftar dalam Daftar Model Obat Esensial WHO sejak 1977 dalam berbagai formulasi.
Saat ini tidak memiliki paten dan tersedia dengan harga terjangkau di sebagian besar negara.
Dexamethasone Selamatkan Nyawa yang Tak Terhitung Jumlahnya
Banyak rumah sakit dan dokter telah mencoba steroid untuk memadamkan sistem kekebalan tubuh, tetapi tidak ada bukti dari penelitian berkualitas tinggi yang membantu menyembuhkan Covid-19.
Sampai sekarang, satu-satunya obat yang terbukti membantu adalah remdesivir, obat percobaan dari Gilead Sciences yang memblokir enzim yang digunakan virus untuk menyalin materi genetiknya.
Baca: Kartika Putri Ajukan Syarat Ini Pada Suami Jika Ingin Ikuti Tren Hamil Ditengah Virus Corona
Baca: Pemerintah Dukung Pengembangan Obat Corona oleh Universitas Airlangga
Remdesivir mempersingkat waktu pemulihan bagi pasien rawat inap yang sakit parah rata-rata 31% menjadi 11 hari dibandingkan 15 hari bagi mereka yang baru saja diberikan perawatan biasa.
Dikutip dari USA Today, pakar penyakit menular top Amerika Serikat, Dr. Anthony Fauci mengungkapkan, dirinya masih belum tahu apakah Remdesivir dapat digabungkan dengan dexamethasone.
"Kami belum tahu apakah remdesivir dapat digunakan dengan dexamethasone atau sebelum atau sesudahnya untuk memberi lebih banyak manfaat," kata Fauci.
Sementara itu, pakar virus di Wellcome Trust, sebuah badan amal Inggris, Nick Cammack mengatkan jika dexamethasone dapat menyelamatkan nyawa yang tak terhitung jumlahnya.
"Ini adalah mimpi, karena obat ini telah digunakan selama beberapa dekade untuk kondisi lain," kata Cammack
"Sangat mudah untuk membuat. Jadi tidak ada alasan ini tidak dapat diluncurkan untuk di seluruh dunia," lanjutnya.
Baca: Pandemi Covid-19 Dekatkan Anak Kartika Putri dengan Sang Ayah
Baca: Virus Corona Batalkan Produksi Tiga FTV, Farahdiba Fereira Bingung Bayar Cicilan
Tidak ada informasi yang diberikan mengenai efek samping dexamethasone, tetapi para peneliti mengatakan mereka menggunakan dosis rendah dan untuk waktu yang singkat, yang umumnya aman.
Dr. Peter Bach, seorang ahli kebijakan kesehatan di Memorial Sloan-Kettering Cancer Center di New York, mencatat bahwa 41% dari mereka yang menggunakan mesin pernapasan dan 25% pada oksigen saja meninggal dalam penelitian ini.
"Tingkat kematian tampaknya jauh lebih tinggi daripada di AS," ujar Dr. Peter Bach.
"Kami akan berjuang untuk melihat data ini dan menggunakannya untuk pasien di AS," katanya.
"Ini adalah kabar baik bagi sains bahwa penelitian yang tepat telah dilakukan," lanjutnya.
(Tribunnews.com/Whiesa)