TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro meminta elite partai politik belajar dari pemilihan umum (pemilu) 2004 dan 2019, saat melakukan revisi Undang-Undang Pemilu.
"Esensi pemilu itu menghadirkan kompetisi sehat dan beradab, dengan mempromosikan pasangan calon yang berintegeritas," papar Siti dalam diskusi virtual bertema Ambang Batas Pilpres, Kuasa Uang dan Presiden Pilihan Rakyat', Jumat (19/6/2020).
Oleh sebab itu, kata Siti, Pemilu 2024 diharapkan dapat mendorong munculnya jumlah calon presiden dan wakil presiden lebih dari dua pasangan, agar tidak menyisakan konflik berkepanjangan di masyarakat seperti pemilu 2019.
Baca: Soal Revisi UU Pemilu, Siti Zuhro Ingatkan Pengalaman Buruk Pemilu 2019
"Pemilu 2019 usai, tapi kompetisi tidak henti (di masyarakat). Jadi puyeng dan bingung juga di masyarakat," papar Siti.
Siti menyebut Pemilu 2004 telah memunculkan lima pasangan calon dengan dua putaran, tetapi saat itu tidak menimbulkan gesekan atau konflik di masyarakat.
"Masa pemilu saat itu tidak sampai menimbulkan konflik dan membuat goyah harmoni. Tidak ada saat itu, meski ada kekurangan dan kekecewaan terhadap yang kalah," ucap Siti.
"Karena itu perlu ada perhitungan yang terukur dan pasti dalam penggunaan presidential threshold dalam Pilpres, agar revisi ini menjami keberlanjutan pemilu dan prospeknya bagi demokrasi yang terkonsolidasi," tutur Siti.
Siti pun meminta para elite politik untuk melakukan simulasi-simulasi dalam menetapkan presidential threshold ke depan, dengan mempertimbangkan karakter masyarakat Indonesia.
"Menurut saya pengalaman empirik 2019, harus jadi pertimbangan matang dan diberikan solusi dalam bentuk pasal dan ayat," paparnya.