TRIBUNNEWS.COM - Aturan wajib rapid test bagi calon penumpang transportasi umum diadukan ke Ombudsman Republik Indonesia, Senin (6/7/2020).
Aduan ini dilayangkan oleh pengacara asal Surabaya, Muhammad Sholeh.
Poin yang diadukan ialah Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 No 9 dalam ketentuan huruf F ayat (2) huruf b angka 2.
Diketahui dalam aturan tersebut, Gugus Tugas melonggarkan aturan masa berlaku hasil tes corona.
Hasil tes PCR yang sebelumnya berlaku 7 hari diperpanjang menjadi 14 hari.
Demikian pula rapid test yang sebelumnya hanya berlaku 3 hari, diperpanjang 14 hari.
"Meski sudah diubah dari berlaku 3 hari menjadi 14 hari tetap menyusahkan penumpang. Kita menuntut dihapus kewajiban rapid tes bukan dirubah masa berlakunya," ungkap Sholeh kepada Tribunnews, Senin (6/7/2020).
Baca: Harga Kit dan Reagen yang Sangat Variatif Sebabkan Biaya Rapid Test & Tes PCR Berbeda-beda
Selain itu, menurut Sholeh, Gugus Tugas tidak memiliki wewenang untuk memberikan aturan syarat penumpang transportasi umum.
"Kewajiban ini menyusahkan penumpang, Gugus Tugas tidak berwemang mengatur syarat penumpang, ini adalah domain Kementrian Perhubungan, bukan Gugus Tugas," ungkapnya.
Alasan lain perlu dihapusnya aturan ini menurut Sholeh ialah biaya rapid test yang mahal.
"Kebijakan Rapid Tes berbiaya mahal dan ini sangat merugikan calon penumpang, sebab tidak semua penumpang orang kaya," ungkapnya.
Menurut Sholeh, jika penumpang kapal laut tentu kategori bukan orang mampu.
"Sebab jika punya uang dia akan naik pesawat bukan naik kapal laut," kata Sholeh.
Baca: 1.000 Orang yang Nonton Konser Rhoma Irama di Bogor Bakal Jalani Rapid Test Covid-19
Maskapai Sediakan Rapid Test
Sholeh juga menyoroti sejumlah maskapai penerbangan yang turut menyediakan layanan rapid test.
Bahkan, ada yang menawarkan harga jauh di bawah rata-rata biaya di rumah sakit.
"Sekarang dengan banyak maskapai seperti Garuda, Lion Air dan City link yang juga mengadakan rapid test sampai berbiaya murah, rapid test berubah dari soal kesehatan menjadi persoalan administrasi," kata Sholeh.
"Ini sangat berbahaya, sebab maskapai bukan rumah sakit, maskapai bukan laboratorium kesehatan, sehingga tidak punya kewenangan menggelar rapid test," ungkapnya.
Sholeh berharap Ombudsman segera menindaklanjuti aduan yang diajukannya.
"Kami meminta supaya Ombudsman segera melakukan investigasi ini agar kebijakan rapid test bagi penumpang dihapus," tandasnya.
Baca: Masih Dianggap Merugikan, Aturan Wajib Rapid Test Calon Penumpang Digugat Lagi ke MA
Digugat ke Mahkamah Agung
Sebelumnya, aturan kewajiban rapid test bagi calon penumpang transportasi umum digugat Muhammad Sholeh ke Mahkamah Agung (MA), Selasa (30/6/2020).
Meski Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 telah merubah peraturan masa berlaku rapid test dari 3 hari menjadi 14 hari, aturan tersebut tetap digugat.
Sholeh menyebut, tuntutan yang diajukan adalah penghapusan aturan kewajiban rapid test bagi calon penumpang.
"Meski sudah dirubah dari berlaku 3 hari menjadi 14 hari tetap menyusahkan penumpang. Kita menuntut dihapus kewajiban rapid test bukan dirubah masa berlakunya," ungkapnya kepada Tribunnews, Selasa.
Baca: Gugus Tugas Terapkan Protokol Pencegahan Covid-19 Ke Pekerja Migran yang Kembali ke Tanah Air
"Kewajiban ini menyusahkan penumpang pesawat terbang, kereta api dan kapal laut. Rapid Banyak dikeluhkan penumpang," ungkap Sholeh.
Menurut Sholeh, poin tersebut bertentangan dengan lampiran BAB III angka 6 c dan angka 7 c Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENSKES/382/2020 tentang Protokol Kesehatan Bagi Masysarakat Di Tempat dan Fasilitas Umum Dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Sholeh menyebut, tidak ada kewajiban rapid test bagi calon penumpang transportasi pada Keputusan Menteri Kesehatan tersebut.
Aturan tersebut dinilai sangat merugikan para calon penumpang pesawat terbang, kereta api, dan kapal laut.
"Rapid test ini kan bukan untuk menentukan orang kena corona atau tidak, hasil reaktif pun bukan berarti kena corona, bisa kena flu atau yang lain bisa juga reaktif," ungkapnya.
"Sehingga menurut saya, screening melalui rapid test tidak efektif dan merugikan calon penumpang," tandasnya.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto)