Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia seperti diketahui bukan sekali ini menghadapi pandemi. Sekitar 15 tahun lalu, penyakit flu burung dari virus H1N1 pernah melanda Indonesia.
Ketua Harian Komisi Nasional Flu Burung dan Pandemi Influenza (Komnas FPBI) 2006-2010, Bayu Krisnamurthi, tidak mau buru-buru membandingkan antara flu burung dan Covid-19.
Namun, Bayu menilai bahwa flu burung tak ada apa-apanya jika dibanding Covid-19.
"Terus terang saja saya katakan, kalau dibandingkan dengan Covid-19, flu burung itu tak ada apa-apanya. Di seluruh dunia case-nya kurang dari seribu sampai dengan 2019 kemarin. Indonesia kira-kira 200 yang kena," kata Bayu dalam Dialog Publik Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Graha BNPB, Jumat (10/7/2020).
Namun, fatality rate atau risiko kematian akibat flu burung, Bayu mengatakan, lebih tinggi ketimbang Covid-19.
"Di dunia kira-kira 60 persen. Di Indonesia itu 80 persen. Jadi kalau ada yang kena, 80 persen peluangnya meninggal," kata Wakil Menteri Pertanian dan Wakil Menteri Perdagangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
Guru Besar Madya Departemen Agribisnis IPB itu pun menjelaskan bahwa penanganan yang dilakukan saat menghadapi flu burung mencakup tiga hal, yakni aspek penyakit, aspek dampak sosial-ekonomi, dan aspek komunikasi publik.
Baca: Jokowi Setujui Laboratorium Vaksin Flu Burung Dialihfungsikan Untuk Produksi PCR
Baca: Update 10 Juli: Sebanyak 61 Pasien Covid-19 Masih Dirawat di RS Pulau Galang
Baca: Dokter Reisa Tunjukkan Protokol Kesehatan yang Wajib Dipatuhi Saat Berolahraga di Ruang Publik
Dalam hal sains, semua ilmuwan diajak bekerja sama. Bahkan, beberapa nama seperti Prof Wiku Adisasmito yang saat ini menjabat Ketua Tim Pakar Gugas, merupakan salah satu tim ahli saat Indonesia mengahadapi flu burung
"Kapasitas pengembangan sains yang kita lakukan saat itu bekerja dengan baik dan kemudian membawa akumulatif knowledge sampai sekarang," kata Bayu.
Kemudian soal aspek sosial-ekonomi yang berkaitan dengan komunikasi publik, Bayu menyebut masyarakat saat itu belum bisa membayangkan bahwa jika ada flu burung, semua unggas harus dimusnahkan dan dibakar.
"Kita butuh intensif sekali menjangkau masyarakat dengan komunikasi yang tak putus-putus, yang kreatif, komunikasi yang membuat mereka tidak takut, tapi justru siaga dan waspada," lanjut Bayu.
"Tiga kombinasi itulah plus bahwa saat itu berada di kendali otoritas tertinggi (penanganannya) itu yang mungkin membuat kita pada 2010 bisa mengendalikan dan tidak menjadi pandemi," pungkas Bayu.