TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai langkah pemerintah selama menangani pandemi Covid-19 terkesan ragu-ragu. Hal tersebut hak atas perindungan kesehatan masyarakat.
"Bukan saya menafikan langkah yang sudah diambil pemerintah, tapi langkah yang diambil pemerintah langkah yang ragu-ragu, tidak terkonsolidasi dengan baik, dan tidak terimplementasikan," kata Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin Al Rahab dalam diskusi virtual yang diselenggarakan ILUNI UI, Kamis (13/8/2020).
Menurutnya, akibat dari langkah pemerintah yang disebutkannya di atas, sikap masyarakat biasa-biasa saja terhadap pandemi Covid-19.
Baca: Komnas HAM Minta Penanganan Covid-19 Berdasarkan Hak untuk Hidup dan Kesehatan
"Penyebaran virus semakin meluas, yang terjangkit semakin banyak, tetapi masyarakat bersikap biasa-biasa saja, karena sebagian dari pengambil kebijakan juga menunjukkan sikap yang biasa-biasa juga," lanjutnya.
Maka dari itulah, Komnas HAM sejak awal memberikan warning kepada pemerintah soal perlindungan hak kesehatan kepada publik.
"Perlindungan hak kesehatan publik ini prinsip menjangkau dan terjangkaunya mesti ada. Artinya apa, instansi yang melayani publik dalam rangka menjamin ketersehatan, dia bisa menjangkau ke mana pun warga negara itu ada, ataywarga negara bisa menajngkaunya sehingga fasilitas-fasilitasnya diadakan di berbagai tempat," kata Amiruddin.
Ini yang menurut Komnas HAM tidak terjadi sehingga perdebatan soal hak perlindungan kesehatan publik berlangsung sangat panjang.
"Soal biaya rapid test, biaya swab yang mahal, ya enggak mungkin terjangkau oleh orang-orang yang sudah kurang pendapatannya dan mesti diwajibkan untuk swab dan rapid test yang harganya mahal," katanya.
"Semestinya rapid atau swab ini yang berhubungan dengan upaya mendeteksi persebaran ini mustinya murah, sehingga dia bisa prinsipnya murah dan cepat," kata Amiruddin.
Amiruddin menyebut Indonesia pernah mengalami pandemi sebelumnya, seperti saat sebelum kemerdekaan yang dimenal dengan virus spanyol, bahkan korban yang berjatuhan lebih banyak jumlahnya.
"Kenapa itu terjadi? Karena waktu itu pemerintahannya abai. Kita tidak mau itu terjadi hari ini, karena pemerintahan kita jauh lebih modern, jauh lebih punya kemampuan untuk menjangkau masyarakat," pungkasnya.