Kalau ambil swab-nya salah, dan kalau ambil darah sih gampang lah. Kalau ini yang ambil salah, kemudian virusnya lepas, yang ambil bisa kena juga. Jadi banyak risiko, sehingga harus spesifik yang melakukan.
Hasil swab tes sebetulnya tidak terlalu akurat?
Hasil itu bisa dikatakan akurat manakala prosedurnya benar. Tetapi ingat bahwa testing, tracing, itu bicara jilid II.
Karena jilid I nya protokol kesehatan.
Apakah kita baru mematuhi protokol kesehatan, kalau kita positif, kan tidak.
Jadi ini yang harus kita luruskan bahwa masyarakat mengatakan di tempat saya tidak ada tes lah.
Sebenarnya rapid test itu perlu atau tidak?
Jadi kalau rapid test digunakan untuk diagnostic pasti tidak bisa. Karena WHO pun tidak merekomendasikan, rapid test itu kan basisnya anti body. Bukan anti kit.
Rapid test itu berbasis pada anti body. Anti body itu baru terbentuk manakala seseorang terinfeksi, dan rata-rata immunoglobulin m itu baru bisa kita deteksi setelah 6-7 hari dari hari infeksinya.
Sehingga kalau hasilnya negatif, kalau dia betul-betul tidak terinfeksi ya negatif.
Tapi kalau dalam periode 1-6 hari, jadi sebenarnya false negatif. Negatif palsu, karena respon anti body-nya belum, sebenarnya positif.
Karena rapid test di pasar kita, tidak ada satupun yang punya izin edar. Di dalam situasi bencana kalau kita lihat Undang-Undang Nomor 24 memang saran yang digunakan untuk merespon tidak perlu izin edar dulu, tapi izin untuk masuk.
Dan itu kewenangannya ada di BNPB. Ini mandat Undang-Undang ya. Artinya begitu banyak rapid test yang ada di pasaran, dicoba, kita cek kualitasnya.
Ada lebih dari 15 merek kalau tidak salah. Setelah kita cek untuk dua hal, satu sensitivitas terhadap deteksi immunoglobulin m.
Kemudian yang kedua spesifisitas kita lakukan.Kalau alat tes yang bagus, dari teman-teman Perhimpunan Dokter Patologi Klinik Indonesia mengatakan paling tidak di atas 85 persen. (tribun network/denis destryawan)