News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Penanganan Covid

Kasus Covid-19 Tembus Sejuta, Ini Kritik-kritik dari Anggota Partai Oposisi

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Warga menjalani rapid test atau swab test di Drive Thru Covid-19 Test, di Jalan Pelajar Pejuang, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (22/1/2021). Layanan Drive Thru Covid-19 Test ini melayani rapid test atau swab test lebih praktis tanpa harus turun dari kendaraan, dengan biaya rapid test antibodi Rp 100.000, rapid test antigen Rp 250.000, sedangkan untuk swab test PCR H+2 Rp 875.000 dan PCR H+1 Rp 1.300.000. Layanan ini buka setiap hari dari pukul 06.30 sampai pukul 17.00 WIB, dengan terlebih dahulu mendaftar di aplikasi Halodoc. Tribun Jabar/Gani Kurniawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali ternyata tak mampu membendung penularan Covid-19.

Hingga Selasa (26/1/2021) kasus Covid-19 di Indonesia telah menembus angka satu juta, tepatnya 1.012.350 orang.

Kritik-kritik pun dilancarkan dari dua partai oposisi yaitu PKS dan Demokrat.

Anggota Komisi IX DPR Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati menyatakan saatnya pemerintah harus lebih konsisten dengan kebijakan yang diambil dalam penanggulangan Covid-19 ini.

Jika diawal penyebaran Covid-19 Pemerintah terlihat gamang dan tidak konsisten dalam upaya menekan laju penyebaran Covid-19, maka saat ini hal itu tidak boleh lagi terjadi.

Baca juga: Covid-19 Tembus 1 Juta, Legislator PKS Soroti Longgarnya Kebijakan PPKM dan Transportasi Publik 

"Kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) harus diterapkan secara konsisten. Jangan justru ditengah kebijakan PPKM ini, pemerintah justru membiarkan WNA dari China dalam jumlah cukup banya justru masuk ke Indonesia seperti yang terjadi belum lama ini," ujar Mufida, kepada wartawan, Kamis (28/1/2021).

Mufida menyoroti masih longgarnya pembatasan dalam kebijakan PPKM ini. Menurutnya mobilitas penduduk masih belum cukup ketat dibatasi dan terkesan tidak konsisten.

Bahkan meski perkantoran ditetapkan 75% work from home, namun operasional transportasi publik masih sampai malam dan tidak seketat pada saat awal pandemi.

"Pengawasan atas pelaksanaan PPKM juga masih lemah dan kurang didukung penegakan aturan, sehingga meskipun diberlakukan PPKM, namun kondisi di masyarakat maupun di tempat kerja seperti tidak banyak perubahan. Akibatnya klaster perkantoran tetap bermunculan. Dalam perpanjangan PPKM, kegiatan pusat perbelanjaan justru diperlonggar dengan diperbolehkan beroperasi sampai jam 20.00 dari sebelumnya jam 19.00," jelasnya.

Ketua DPP PKS Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga ini juga menyoroti meningkat tajamnya klaster keluarga dan klaster pemukiman terutama di perkotaan.

Baca juga: Tukang Pikul Mogok, Jenazah Pasien Covid-19 Terlantar, Keluarga Angkut Sendiri Peti Tanpa APD

Di Jakarta misalnya klaster keluarga meningkat sampai 44%. Di Jawa Barat, peningkatan klaster keluarga menyebabkan meningkatnya daerah yang berstatus zona merah.

Oleh karenanya, Mufida meminta pembatasan sosial maupun pembatasan kegiatan masyarakat harus dilakukan juga dalam skala lokal sehingga pengawasannya juga bisa lebih terfokus.

Selain itu, pembatasan mobilitas juga perlu diperketat mengingat meningkatnya klaster keluarga di bulan ini diantaranya dampak dari libur natal dan tahun baru lalu dimana banyak keluarga berpergian.

Penggali makam TPU Jombang, Ciputat, Kota Tangerang Selatan, sedang menguburkan jenazah Covid-19, Selasa (26/1/2021). Untuk mengantisipasi keterbatasan lahan di tengah melonjaknya jenazah Covid-19, pihak TPU Jombang membuka lahan baru dengan menyediakan 500 liang lahat. (WARTAKOTA/Nur Ichsan) (WARTAKOTA/Nur Ichsan)

Wakil Sekretaris Fraksi PKS DPR RI ini juga mengingatkan bukan saatnya lagi saling menyalahkan antar instansi pemerintah terkait lonjakan kasus dan upaya pengendalian penyebaran covid-19 ini.

Mufida merujuk pada Menteri Kesehatan yang secara terbuka di media menyalahkan data Kementerian yang dipimpinnya yang tidak bisa digunakan untuk program vaksinasi.

"Sebaiknya yang dilakukan adalah perbaikan dan pembenahan secara internal dan tidak menyalahkan terbuka yang bisa menjatuhkan pekerja di Kementerian Kesehatan.

Baca juga: Tukang Pikul Mogok, Jenazah Covid-19 Sempat Telantar, Keluarga Angkut Sendiri Peti ke Liang Lahat

Demikian pula dengan metode penentuan testing yang dianggap salah pada metide tes tersebut sudah sesuai denga kaidah Test-Tracing-Treatment plus menjaring orang yang OTG agar tidak menularkan yang lain," terang Mufida.

"Pandemi sudah hampir setahun berlangsung dan angka resmi yang terpapar sudah tembus satu juta. Saatnya lebih fokus pada kebijakan yang terukur, konsisten dan memastikan semua kebutuhan untuk penanggulangan pandemi ini tersedia," imbuhnya.

Pemerintah Harus Akui

Anggota Tim Covid-19 Fraksi PKS, Sukamta menyebut situasi yang dihadapi Indonesia saat ini perlu perhatian ekstra semua pihak khususnya pemerintah.

"Jika memperhatikan data yang dikeluarkan Satgas Covid-19, sejak Januari 2021 positive rate selalu di atas 20 persen, bahkan beberapa kali lebih mencapai 30 persen. Ini jauh di atas standar organisasi kesehatan dunia (WHO) sebesar 5 persen," kata Sukamta melalui keterangannya," Kamis (28/1/2021).

Baca juga: Persiapan Bupati Bogor Iwan Setiawan Sebelum Disuntik Vaksin Covid-19 di Puskesmas Cimandala

"Artinya saat ini kita masuk pada kondisi yang sangat kritis. Banyak ahli epidemiologi sampaikan analisa, situasi akan semakin berat dalam 2 hingga 5 bulan ke depan jika kedisplinan protokol kesehatan tidak berjalan dengan baik," imbuhnya.

Sukamta menyebut pandemi yang semakin sulit dikendalikan saat ini akibat kebijakan pemerintah yang berulang kali tidak efektif berjalan.

Wakil Ketua Fraksi PKS ini mencontohkan kebijakan PSBB yang pernah dilakukan dan PPKM yang saat ini berjalan terlhat tidak mampu membuat masyarakat semakin disiplin prokes.

"Yang kita sayangkan, selama ini evaluasi pemerintah cenderung menyebut faktor utama pandemi yang semakin meluas karena masyarakat yang tidak disiplin prokes.

Mestinya pemerintah sampaikan apa sebabnya kebijakan PSBB dan PPKM tidak berjalan efektif untuk membuat masyarakat lebih disiplin.

Jangan sampai gonta ganti kebijakan yang tambal sulam tanpa menyentuh akar masalah," ujarnya.

Angggota Komisi I DPR RI ini berpendapat, akan lebih baik pemerintah secara transparan sampaikan kelemahan dan kekurangan yang terjadi dalam mengatasi pandemi.

Pemerintah tidak perlu menjadikan negara-negara lain yang saat ini alami lonjakan kasus Covid-19 sebagai pembanding untuk mendapat permakluman masyarakat.

"Masyarakat tentu akan lebih apresiatif jika pemerintah lebih transparan. Yang tiba-tiba muncul belum lama ini statemen Menkes, pemerintah salah sasaran soal testing Covid-19.

Juga pernyataan Presiden akui sulit terapkan kebijakan gas dan rem. Setelah pandemi berjalan hampir 1 tahun baru mulai ada pengakuan, tetapi tidak secara jelas menyebut secara sistematis masalah yang terjadi," ucapnya.

Sukamta memberi contoh sikap Perdana Menteri Inggris Boris Johnson yang menyatakan minta maaf dan bertanggung jawab atas kematian akibat Covid-19 di Inggris yang menyentuh angka 100 ribu adalah hal yang patut dipuji.

"Saya kira pemerintah tidak perlu menunggu jumlah angka kematian akibat Covid lebih banyak untuk menyatakan minta maaf.

Untuk selanjutnya pemerintah harus lebih fokus dan bisa merangkul lebih banyak pihak yang kompeten untuk bersama-sama mengatasi pandemi.

Wacana dan isu politik yang membuat gaduh lebih baik dibuang jauh-jauh supaya energi bangsa ini bisa fokus atasi pandemi," pungkasnya.

Setengah Hati

Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Lucy Kurniasari menyebut kebijakan penanganan Covid-19 setengah hati.

Menurutnya itu menunjukkan kebijakan pemerintah melalui PSBB dan PPKM tidak efektif.

"Kebijakan PSBB dan PPKM menurut saya terlalu kompromistis dengan mencari jalan tengah antara kesehatan dan ekonomi. Kebijakan kompromi ini terbukti tidak efektif," kata Lucy kepada wartawan, Kamis (28/1/2021).

Dia mengatakan, PSBB dan PPKM terlalu longgar dan tidak memperhatikan aspek geografis.

Kasus PPKM yang dibatasi di Pulau Jawa dan Bali misalnya, tetap saja tidak dapat membatasi mobilisasi warga.

Interaksi warga dari dan ke Pulau Jawa dan Bali tetap berlangsung.

"Ini tentu membuka celah terjadinya penularan Covid-19," kata dia.

Sayangnya, lanjut Lucy, pemerintah tampak alergi jika mendengar kata lockdown.

Padahal, jika melihat kasus di Selandia Baru, melalui lockdown mereka berhasil mengatasi pandemi Covid-19.

Karena itu, pemerintah seharusnya memberi ruang untuk mengambil kebijakan lockdown.

"Kebijakan ini jelas memperhatikan aspek geografis, sehingga mobilisasi warga secara geografis dapat dihentikan," ujarnya.

Lucy menyadari bahwa kebijakan lockdown memerlukan alokasi anggaran yang cukup besar.

Konsekeunsi dari lockdown, minimal pemerintah harus menyiapkan anggaran untuk makan rakyatnya dalam satu periode tertentu.

"Masalahnya tersedia tidak anggaran untuk itu. Tentu jawabannya harus tersedia dengan cara mengalihkan anggaran infrastruktur yang besar itu untuk dana bantuan kepada masyarakat selama lockdown," pungkasnya.

820 Ribu Sembuh

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito mengatakan bahwa total kasus positif Covid-19 di Indonesia memang lebih dari satu juta kasus atau tepatnya berdasarkan data pada Selasa kemarin yakni 1.012.350.

Namun, menurut Wiku, dari jumlah tersebut sekitar 820 ribunya telah dinyatakan sembuh.

"Dari angka 1 juta tersebut sebenarnya 820 ribu lebih, itu adalah sembuh. Jadi sebenarnya dengan angka kesembuhan 80 persen, itu sebagian yang belum sembuh masih dirawat dan sebagain memang ada yang fatal," kata Wiku usai menjalani vaksinasi Covid-19 dosis di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, (27/1/2021).

Oleh karena itu, kata Wiku, saat ini pihaknya fokus pada kasus aktif alias warga  yang belum dinyatakan sembuh yang jumlahnya lebih dari 100 ribu.

Salah satunya dengan menambah kapasitas rumah sakit terutama di rumah sakit rujukan Covid-19. 

"Fasilitasi rumah sakit memang terbatas yang sementara ini digunakan untuk rujukan Covid-19, dan pemerintah sudah  menambah jumlah tempat tidur dan tenaga kesehatan agar bisa menangani ini," katanya.

Hanya saja Wiku mengingatkan bahwa upaya solusi apapun dari pemerintah untuk menekan laju penyebaran Covid-19 dan meningkatkan angka kesembuhan, tidak akan ada artinya apabila masyarakat tidak disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan 3M, mulai dari memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, hingga menghindari kerumunan.

 "Solusi ini harus diikuti dengan pencegahan yang lebih masif, karena Faskes tidak mungkin cukup apabila banyak penduduk Indonesia yang sakit," pungkasnya. (Chaerul Umam/Vincentius Jyestha)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini