TRIBUNNEWS.COM - Tepat setahun sudah pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia.
Diketahui, kasus Covid-19 pertama kali diumumkan pemerintah pada 2 Maret 2020 lalu.
Ahli Epidemiologi dari Universitas Airlangga (Unair) dr Windhu Purnomo mengungkapkan perlu melihat data secara utuh untuk melihat perkembangan kasus.
Dokter Windhu menyebut melihat kondisi pandemi tidak cukup dari melihat jumlah kasus yang dilaporkan setiap harinya.
"Kasus yang dilaporkan atau kasus yang terdeteksi sangat tergantung dari jumlah testing, jumlah orang yang diperiksa. Bukan jumlah spesimen harian yang dilakukan," ungkap Windhu dikutip Tribunnews.com, Selasa (2/3/2021).
Jika jumlah orang yang dites menurun, maka kasus yang terkonfirmasi juga kemungkinan besar ikut turun.
Sehingga, Windhu menyebut perlu melihat secara utuh data yang ada.
Baca juga: Bakal Hadapi Munculnya Strain Baru Covid-19 di 2021, Epideminolog Ini Ungkap Langkah Antisipasi
Kondisi Testing di Indonesia
Sementara itu untuk testing Covid-19 di Indonesia, Windhu menilai kondisinya masih tidak konsisten.
Windhu mengungkapkan, ada pola yang mengagetkan dimana ada testing yang melonjak tinggi pada 23-24 Februari 2021.
"Dengan jumlah testing yang tiba-tiba melonjak tinggi, dengan jumlah kasus positif yang justru menurun."
"Tapi setelah itu bukannya jumlah testing dipertahankan tinggi, malah terus merosot dari ke hari, dan mencapai titik terendah pada hari kemarin 1 Maret 2021 dengan jumlah testing hanya sebanyak 18.940," ungkap Windhu.
Baca juga: Jepang Minta China Stop Tes Swab Anal Covid-19 ke Warganya, Sebut Sebabkan Rasa Sakit Psikologis
Jumlah testing itu merupakan jumlah testing terendah dalam 4 bulan terakhir sejak 1 November 2020.
"Tentu akibat merosotnya jumlah testing ini jumlah kasus positif yang dilaporkan juga menurun, yang kemarin sebesar 'cuma 6.680 kasus', sehingga ada persepsi terjadi perbaikan kondisi pageblug di negeri kita," ungkap Windhu.
"Padahal itu adalah penurunan semu," imbuhnya.
Bila ini terus terjadi, lanjut Windhu, berakibat pada makin banyak kasus yang tidak terdeteksi.
"Sehingga reservoir penularan banyak di bawah permukaan akibat makin melemahnya testing dan contact tracing, maka makin sulit lah pageblug ini terkendali," ungkapnya.
Baca juga: Pemerintah Konfirmasi Mutasi Covid-19 dari Inggris Sudah Masuk Indonesia
Ingatkan Agar Tak Hanya Fokus Vaksinasi
Windhu juga mengingatkan agar pemerintah tak hanya fokus pada vaksinasi, namun terus mengebut testing dan tracing.
"Yang saya kuatirkan melemahnya strategi terpenting yaitu testing dan tracing, jangan-jangan karena pemerintah saat ini lebih fokus pada program vaksinasi."
"Padahal sebetulnya program vaksinasi saja tidak bisa diharapkan sebagai strategi yang bisa diandalkan cepat mengendalikan pandemi karena untuk mencapai herd immunity butuh waktu yang sangat lama bila vaccination rate/kecepatan vaksinasinya belum tinggi seperti saat ini, masih sekitar 100 ribu per hari," ungkap Windhu.
Sehingga, Windhu menyebut perlu strategi trisula yang dilakukan bersamaan untuk menekan penyebaran kasus.
"Yaitu 3T (tracing, testing, treatment), 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak), dan vaksinasi, seharusnya untuk saat ini 3T dan 3M lah yang harus dikejar tinggi," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto)