Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Juru bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi memastikan pemerintah tidak akan memberikan vaksin yang masa simpannya habis, guna memastikan keamanan dan khasiat vaksin.
Hal itu disampaikan Nadia untuk menanggapi isu vaksin Covid-19 produksi Sinovac telah memasuki masa kedaluwarsa.
Nadia menyebutkan bahwa vaksin tersebut bukan kedaluwarsa melainkan shelf life atau masa simpan.
Untuk vaksin Sinovac yang datang pada tahap pertama berjumlah 3 juta dosis, terdiri dari 1,2 juta dosis vaksin tiba awal Desember dan 1,8 juta dosis vaksin tiba pada akhir Desember 2020.
Baca juga: Vaksin Sinovac Mendekati Kadaluarsa, SBN: Menkes Harus Lebih Prima
Baca juga: Efikasi AstraZeneca Lebih Rendah Dibanding Sinovac
Vaksin ini diproduksi pada September-November 2020 dengan shelf life dari produsen selama 3 tahun.
Sementara itu, dari Badan POM berdasarkan data stability produk, diklaim bahwa vaksin Covid-19 produksi Sinovac memiliki masa simpan selama 6 bulan.
Nadia menegaskan ketentuan ini bukan untuk mempercepat masa simpan vaksin, melainkan wujud kehati-hatian pemerintah dengan tidak begitu saja menerima data dari produsen.
“Bukan ada percepatan dari Badan POM terkait masa simpan ini, tetapi Badan POM melihat bahwa shelf life daripada vaksin ini tidak semata-mata berdasarkan informasi yang disampaikan oleh produsen tetapi berdasarkan pada data stabilitas yang ada,” kata Nadia saat konfrensi pers virtual, Selasa (16/3/2021).
Adapun masa simpan vaksin yang 1,2 juta vaksin hingga 25 Maret 2021, sementara 1,8 juta dosis vaksin memiliki masa simpan hingga Mei 2021.
Namun demikian, vaksin tersebut telah habis digunakan untuk vaksinasi bagi tenaga kesehatan dan petugas pelayanan publik.
“Kemenkes mengikuti keputusan Badan POM. Sejak awal, kami menjaga agar penggunaan vaksin Sinovac dalam rentang shelf life atau masa simpan sesuai yang disampaikan oleh Badan POM,” tutur Nadia.
Karena vaksin tahap pertama telah habis, vaksin Covid-19 yang saat ini digunakan oleh pemerintah untuk vaksinasi tahap kedua bagi kelompok lansia dan tenaga pelayanan publik, menggunakan vaksin produksi Sinovac yang datang di tahap berikutnya dalam bentuk bulk lalu diproses oleh Biofarma.
Nadia menjelaskan vaksin tersebut memiliki tampilan fisik yang berbeda dengan vaksin Sinovac yang didatangkan langsung dari Tiongkok. Vial ini ukurannya jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya.
“Kemasannya berbeda dengan yang pertama. Sama-sama berbentuk vial, tetapi vial ini bisa disuntikkan untuk 9-11 orang dengan setengah cc,” ucapnya.
Perbedaan kemasan ini sekaligus memastikan bahwa sudah tidak ada lagi vaksin Covid-19 tahap pertama dari Sinovac yang masih beredar.
Nadia mengimbau masyarakat untuk tidak perlu khawatir, karena Pemerintah tentunya akan menjamin keamanan, khasiat, dan mutu vaksin yang akan diberikan kepada seluruh masyarakat Indonesia.
Pegang Prinsip Hati-hati, Pemerintah Tunda Distribusi Vaksin AstraZeneca
mengatakan, langkah penundaan distribusi vaksin AstraZeneca dilakukan demi kehati-hatian pelaksanaan vaksinasi.
Ia mengatakan, penundaan distribusi bukan semata-mata terkait isu penggumpalan darah sebagai akibat dari penyuntikan Vaksin AstraZeneca.
"Kenapa Kementerian Kesehatan menunda dulu distribusi vaksin AstraZeneca karena kehati-hatian," ujarnya dalam konferensi pers virtual, Selasa (16/3/2021).
Menurutnya, saat ini BPOM, ITAGI, dan para ahli sedang melihat apakah kriteria penerima vaksin Sinovac dapat diterapkan juga pada penerima vaksin AstraZeneca.
"Jadi kita menunggu proses ini sambil menunggu proses pengecekan secara fisik quality control apakah vial rusak, kemasan yang tidak baik sebelum fasyankes melakukan penyuntikan," ungkap Nadia.
Lebih jauh, Nadia menuturkan, pemerintah ingin memastikan vaksin yang diberikan ke masyarakat bermutu baik dan keamanan yang terjamin.
"Jadi kita betul-betul menyakini artinya melihat di dalam vial AstraZeneca tidak ada perubahan warna bentuk, fisik untuk melihat proses quliaty control yang paralel dengan kriteria yang sesuai termasuk rentang waktu pemberian dosis pertama dan kedua," ungkapnya.
*Menunggu Hasil Kajian Resmi WHO*
Ia mengatakan, sejumlah negara yang melakukan penundaan sementara penggunaan vaksin AstraZeneca juga menunggu informasi resmi baik dari BPOM Eropa
maupun WHO.
Merujuk pada pernyataan European Medicine Agency (EMA) yang disampaikan pada Kamis (11/3/2021) lalu, bahwa tidak ada hubungan antara terjadi penggumpulan darah dengan penyuntikan vaksin Astrazeneca
Saat ini sudah ada 17 juta yang mendapatkan vaksinasi Astara Zeneca dimana laporan penggumpulan darah dilaporkan sebanyak 40 kasus.
"Jadi sebenarnya kasusnya sangat kecil," ucap perempuan berhijab ini.