Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) Cina, Gao Fu mengatakan, efektivitas vaksin Covid-19 Cina masih belum tinggi.
Dengan kata lain, efikasi pada vaksin Sinovac masih rendah.
Menanggapi hal ini, Ahli epidemiologi dari Griffith University di Australia, Dicky Budiman mengakui jika efikasi vaksin Sinovac memang cukup rendah.
Baca juga: China Sebut Efikasi Vaksin Sinovac Rendah, Anggota DPR: Masyarakat Jangan Khawatir
Terutama dibandingkan dengan produk vaksin lain seperti Astrazeneca, Moderna, Pfizer. Tapi menurutnya perbandingan tersebut tidaklah 'apple to apple.'
Karena menurutnya untuk mengendalikan pandemi Covid-19, yang paling utama adalah keberadaan vaksin itu sendiri.
Baca juga: Syarat Umrah Harus Vaksin Bersertifikat WHO, Indonesia Masih Tunggu Sertifikasi Sinovac
Kalaupun efikasi dari vaksin tersebut adalah yang terbaik dari vaksin lain.
Namun jika tidak bisa didapatkan tentu tidak dapat dimanfaatkan.
"Vaksin yang terbaik adalah vaksin yang ada dan kita miliki. Kita punya dan bisa kita berikan pada masyarakat. Kalau tidak ada, ya bukan yang terbaik," katanya saat diwawancarai, Selasa (13/4/2021).
Di sisi lain, uji vaksin Sinovac diadakan di tiga negara yaitu Indonesia, Turki dan Brazil. Menurutnya, untuk melihat hasil efikasi dari vaksin harus bersifat komprehensif dan tidak terburu-buru.
Menurutnya menjadi wajar jika efikasi setiap negara mengalami perbedaan. Karena faktor populasi yang berbeda, begitu juga pada waktu, kondisi tempat, desain dan varian virus.
"Perbedaan ini akhirnya memengaruhi outcome yang berbeda. Makanya efikasi vaksin Sinovac di Indonesia ada 65 persen,Turki terakhir 83 persen. Dan terakhir, uji klinis final Brazil itu 57,7 persen," katanya lagi.
Kurang Efektif
Sebelumnya, pejabat tertinggi pengendalian penyakit China mengaku, vaksin virus corona buatan China memiliki keefektifan yang rendah.
Pertimbangan untuk mencampurkan vaksin yang ada di China dengan vaksin lain berbasis mRNA pun muncul.
"Vaksin China tidak memiliki perlindungan yang sangat tinggi," kata direktur Pusat Pengendalian Penyakit China, Gao Fu pada konferensi pers yang dilakukan Sabtu (10/4/2021) di Chengdu.
Ini adalah pengakuan yang jarang terjadi terkait kelemahan vaksin yang diproduksi suatu negara.
Dilansir AP News, Senin (12/4/2021), China telah mendistribusikan ratusan juta dosis vaksinnya ke luar negeri.
Gia juga mempertanyakan keefektifan vaksin buatan Pfizer-BioNTech yang dibuat menggunakan mRNA.
"Sekarang kami mempertimbangkan, apakah harus menggunakan vaksin yang berbeda (mencampurkan vaksin) dari jalur teknis untuk imunisasi," kata Gao.
Dalam konferensi pers hari Minggu (11/4/2021), pejabat China tidak menanggapi secara langsung pernyataan Gao atau kemungkinan perubahan dalam jalur teknis imunisasi.
Namun, pejabat CDC lainnya mengatakan pengembang vaksin sedang mengerjakan vaksin berbasis mRNA.
Baca juga: Peneliti Sebut Vaksin Sinovac Efektif Melawan Virus Mutasi B117, Tapi Tidak B1351
Dilaporkan AP News, Gao tidak menanggapi panggilan telepon yang meminta komentar lebih lanjut.
"Vaksin mRNA yang dikembangkan di negara kami juga telah memasuki tahap uji klinis," kata pejabat lain Wang Huaqing.
Kendati sudah masuk tahap uji klinis, Huaqing tidak dapat memprediksi kapan vaksin berbasis mRNA yang dibuat akan dapat digunakan.
Para ahli mengatakan, mencampurkan vaksin atau imunisasi berurutan (dua vaksin berbeda) dapat meningkatkan efektivitas.
Para peneliti Inggris sedang mempelajari kemunginan kombinasi Pfizer-BioNTech dan vaksin AstraZeneca.