Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, NEW DELHI - Rajeshwari Devi (58), seorang warga India telah meninggal pada hari Minggu lalu setelah menunggu selama dua hari untuk bisa mendapatkan oksigen, ambulans dan tempat tidur di rumah sakit khusus yang menangani pasien virus corona (Covid-19).
Saat itu ia terus menunggu, nafasnya terengah-engah, namun semua sudah terlambat saat bantuan tiba.
Devi kemudian dibawa ke ruang gawat darurat rumah sakit di distrik Robertsganj, India utara, pada 16 April lalu setelah tingkat saturasi oksigennya mengalami penurunan.
Hasil CT scan menunjukkan bahwa dirinya ternyata menderita pneumonia kronis.
Baca juga: Tak Ingin Seperti India, Langkah Ini Disiapkan Pemerintah untuk Kendalikan Kasus Covid-19
Baca juga: Fakta Gelombang Kedua Covid-19 Menyerang India, Korban Berjatuhan hingga Rumah Sakit Penuh
Namun karena tidak dilaporkan terinfeksi Covid-19, rumah sakit itu pun menolak untuk merawatnya.
Akhirnya ia menghabiskan sekitar 36 jam di ruang gawat darurat hanya untuk mendapatkan bantuan oksigen.
Staf di rumah sakit tersebut kemudian memberitahu keluarganya bahwa mereka kehabisan oksigen, sehingga Devi harus dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar.
Namun rumah sakit itu mengaku tidak bisa memberikan fasilitas ambulans atau tempat tidur selama Devi mencari rumah sakit lain.
Keluarganya yang putus asa pun kemudian membawanya menggunakan mobil mereka ke rumah sakit di mana masih tersedia tempat tidur.
Ini juga karena adanya campur tangan seorang politisi negara itu.
Mirisnya, selama perjalanan menggunakan mobil keluarganya, ia tidak memiliki dukungan oksigen di dalam mobil itu.
Hingga akhirnya meninggal beberapa menit sebelum mendapatkan perawatan di rumah sakit.
Dikutip dari laman BBC, Rabu (21/4/2021), Ashish Agrahari, putranya, mengatakan bahwa ibunya tentu akan memiliki kesempatan untuk bisa bertahan hidup jika pengobatan diberikan tepat waktu.
Kisah memilukan seperti ini banyak terjadi di seluruh wilayah India saat gelombang kedua Covid-19 akhirnya mendatangkan malapetaka.
Data menunjukkan bahwa di beberapa negara bagian, gelombang ini terbukti lebih menular dan mematikan, meskipun tingkat kematian akibat virus ini di India masih relatif rendah.
Sistem perawatan kesehatan di negara itu pun kini tidak mampu menangani lonjakan kasus.