Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, LONDON - Varian virus corona (Covid-19) B.1.617.2 atau disebut juga sebagai 'Delta' yang awalnya ditemukan di India pada Desember 2020, kini telah menjadi salah satu jenis virus yang paling mengkhawatirkan secara global.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa varian tersebut mungkin menjadi varian paling menular dan telah memicu terjadinya gelombang pandemi di seluruh dunia.
Perlu diketahui, B.1.617.2 setidaknya telah menyebar ke 62 negara, termasuk Amerika Serikat (AS).
Baca juga: Varian Delta Ditemukan Pada Kasus Baru Covid-19 di Victoria Australia
Baca juga: Varian Baru Terus Bermunculan di Indonesia, Pemerintah Siapkan Beberapa Strategi
Bahkan varian ini diyakini berkontribusi pada munculnya gelombang besar kasus Covid-19 yang telah 'membanjiri' India dalam beberapa bulan terakhir.
Selain itu, tampaknya varian ini juga telah menjadi strain dominan yang menginfeksi orang yang tidak divaksinasi di Inggris.
Dibandingkan strain lainnya, varian ini lebih mungkin menginfeksi orang yang hanya mendapatkan satu kali tahapan vaksinasi.
Lalu apa perbedaan B.1.617.2 dengan varian lainnya dan mengapa bisa lebih berbahaya?
Dikutip dari laman New York Magazine, Rabu (9/6/2021), varian B.1.617.2 atau Delta memiliki beberapa mutasi yang tampaknya memberikan 'keunggulan tertentu' dibandingkan strain lainnya.
Keunggulan nyata yang harus menjadi perhatian adalah bahwa mutasinya dapat membuat strain lebih mudah menular, ini juga akan menjadikannya sebagai varian yang paling berbahaya.
Sebuah studi menunjukkan bahwa B.1.617.2 kemungkinan memiliki risiko menular lebih besar yakni mencapai 50 persen jika dibandingkan varian B.1.1.7 (Inggris/Alpha).
Seorang Ahli Epidemiologi terkemuka di Imperial College London sekaligus salah satu Penasihat utama pandemi untuk pemerintah Inggris, Profesor Neil Ferguson mengatakan bahwa varian ini 60 persen lebih mudah menular dibandingkan Alpha.
Bahkan lebih menular jika dibandingkan jenis asli virus corona yang muncul kali pertama di China pada akhir 2019.
Ini yang membuat para ilmuwan meyakini bahwa Delta menjadi varian dominan secara global.
Saat gelombang infeksi Covid-19 melanda Inggris selama akhir pekan lalu, Menteri Kesehatan negara itu, Matt Hancock mengatakan bahwa varian Delta diperkirakan 40 persen lebih mudah menular dibandingkan varian Alpha.
Sebuah studi yang dilakukan oleh pemerintah India bahkan telah menemukan bahwa Delta sejauh ini telah menjadi strain paling dominan di India.
Sementara provinsi Guangdong di China telah menerapkan sistem penguncian (lockdown) tingkat daerah untuk mencoba mengendalikan peningkatan kasus yang sebagian besar didorong oleh kemunculan varian yang sangat menular ini.
Intinya adalah jika penelitian pendahuluan ini benar-benar akurat, maka varian Delta akan segera menjadi strain Covid-19 paling dominan di dunia dan menyebabkan penyebaran wabah yang begitu cepat di negara-negara yang tidak didukung tingkat vaksinasi yang tinggi.
Di sisi lain, saat ini ada penelitian terbatas mengenai apakah varian Delta menyebabkan penyakit yang lebih parah dibandingkan varian lainnya.
Menurut Public Health England, data awal menunjukkan bahwa dibandingkan varian Alpha, Delta cenderung menyebabkan pasien harus menjalani rawat inap.
Analisis dari 38.805 kasus berurutan di Inggris mengungkapkan bahwa varian Delta dikaitkan dengan risiko rawat inap 2,61 kali lebih tinggi dalam 14 hari dari tanggal spesimen, dibandingkan varian Alpha.
Angka-angka ini memperhitungkan sejumlah faktor seperti usia, jenis kelamin, etnis, daerah tempat tinggal dan status vaksinasi.
Data dari Skotlandia pun mendukung temuan tersebut dan menunjukkan risiko rawat inap lebih dari dua kali lipat bagi mereka yang terinfeksi varian Delta dibandingkan dengan varian Alpha.