Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA --Obat Ivermectin beberapa waktu terakhir ini kerap disebut obat terapi Covid-19. Padahal, obat ini terdaftar sebagai obat cacing.
Dari mana kesimpulan ini diambil? Jika benar, layakkah diproduksi masal seperti dikatakan Menteri BUMN Erick Thohir?
Bagaimana sebenarnya obat ini bisa bekerja dan diklaim sebagai obat Covid-19.
Baca juga: Ivermectin, Obat Cacing untuk Atasi Covid-19, Bagaimana Cara Kerjanya, Benarkah Ampuh? Ini Kata Ahli
Baca juga: Politikus PKS Kritik Erick Thohir Promosikan Ivermectin Sebagai Obat Terapi Covid-19
Ketua Satuan Gugus Tugas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof. Zubairi Djoerban mengatakan, awal Ivermectin menjadi populer disebut-sebut sebagai obat yang dapat menghambat perkembangan SARS-CoV-2.
Semua bermula dari studi di Australia yang mengklaim bahwa obat ini bekerja dengan cara menghambat protein yang membawa virus penyebab Covid-19 ke dalam inti tubuh manusia.
"Hal ini yang kemudian diyakini bahwa Ivermectin mencegah penambahan jumlah virus di tubuh sehingga infeksi tidak makin parah.
Persoalannya studi ini baru dilakukan terhadap sel-sel yang diekstraksi di laboratorium. Uji coba Ivermectin pada tubuh manusia belum dilakukan," jelas Guru Besar FKUI ini.
Kemudian, studi berikutnya adalah di Bangladesh, yang juga mengklaim Ivermectin dapat mempercepat proses pemulihan pasien Covid-19.
Tapi penelitinya pun menyatakan terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa Ivermectin efektif untuk pengobatan Covid-19.
"Lalu bagaimana Ivermectin di Eropa dan Amerika? Yang jelas, European Medicines Agency (EMA) dan Food and Drug Administration (FDA) belum mengizinkan Ivermectin digunakan untuk mengobati Covid-19," kata Zubairi.
EMA atau BPOM-nya Eropa telah meninjau beberapa studi terkait penggunaan Ivermectin.
"Mereka menemukan kalau obat ini memang dapat memblokir replikasi SARS-CoV-2. Tapi pada konsentrasi Ivermectin yang jauh lebih tinggi daripada yang dicapai dengan dosis yang diizinkan saat ini," ungkapnya.
Pada kesimpulannya, EMA menyatakan bahwa sebagian besar studi yang ditinjau memiliki keterbatasan.