TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI yang juga Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto, mengecam pemerintah yang dianggap tidak serius dorong riset vaksin Merah Putih sebagai vaksin produk dalam negeri.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dengan Konsorsium Riset Covid-19 terungkap bahwa target produksi Vaksin Merah Putih, yang dimotori Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, mundur dari jadwal.
Semula diperkirakan vaksin Merah Putih dapat diproduksi massal pada awal tahun 2022, tapi karena ada masalah teknis akhirnya diprediksi mundur menjadi September 2022.
Hal tersebut disebabkan karena BUMN Bio Farma, sebagai mitra konsorsium, tidak siap untuk memproduksi vaksin berbasis protein rekombinan mamalia.
Fasilitas produksi BUMN Bio Farma hanya siap untuk produksi vaksin berbasis protein rekombinan ragi (yeast). Karena itu LBM Eijkman terpaksa harus banting setir mulai dari nol lagi untuk mengembangkan riset vaksin berbasis ragi.
"Semestinya pemerintah lebih menggesa riset vaksin Merah Putih, yang tengah dikembangkan Konsorsium Riset Covid di bawah koordinasi BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), agar vaksin inovasi anak bangsa ini segera dapat diproduksi dan didistribusikan kepada masyarakat," kata Mulyanto dalam keterangannya, Selasa (13/7/2021).
Baca juga: 1,4 Juta Dosis Vaksin Sinopharm untuk Program Gotong Royong Tiba di Indonesia
Dalam riset vaksin domestik ini, Mulyanto menilai, pemerintah adem-adem saja dan membiarkan riset vaksin ini berjalan bisnis as usual. Bahkan terkesan masih poco-poco atau maju-mundur.
Dia pun menilai perhatian pemerintah dalam riset vaksin Merah Putih ini sangat minim.
Anggaran untuk riset vaksin di LBM Eijkman, yang disiapkan BRIN saja tidak lebih dari Rp 10 Miliar.
"Ini sungguh miris dan jauh dari memadai, apalagi kalau dibandingkan dengan dana yang disiapkan untuk mengimpor vaksin yang ratusan triliun. Pemerintah seharusnya mengalokasikan dana riset yang cukup, termasuk dukungan infrastruktur pada mitra BUMN yang akan memproduksi, agar vaksin Merah Putih ini dapat diproduksi lebih cepat," ujarnya.
"Kalau riset vaksin Merah Putih berjalan seperti ini, sampai kapan vaksin tersebut dapat didistribusikan kepada masyarakat. Utang kita juga keburu habis untuk membeli vaksin impor," lanjutnya.
Seperti diketahui, ada 11 platform riset vaksin Merah Putih yang dijalankan oleh 6 lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi, yakni LBM Eijkman, LIPI, UI, ITB, Unair, dan UGM. Yang tercepat, LBM Eijkman menjadwakan uji klinis tahap 1-3 bersama BUMN Bio Farma pada buan Juli-Desember 2021 dan target memperoleh izin BPOM dan diproduksi massal pada bulan Januari 2022.
Dengan kondisi infrastruktur produksi vaksin BUMN Bio Farma, yang hanya dapat memproduksi vaksin berbasis protein rekombinan ragi, maka produksi massal vaksin ini diperkirakan paling cepat September 2022.
Mulyanto menilai, penggunaan vaksin Merah Putih menjadi penting dalam upaya untuk membangun keunggulan SDM dan kemampuan inovasi domestik, selain juga agar Indonesia tidak tergantung pada vaksin impor dan sekedar menjadi pasar bisnis vaksin semata.
"Sayang kalau anggaran dari utang yang terbatas ini terkuras habis untuk membeli puluhan juta dosis vaksin impor," pungkasnya.