TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Pemerintah kesulitan mencari sejumlah obatan untuk terapi pasien Covid-19.
Setidaknya terdapat tiga obat yang sedang dicari pemerintah untuk mengobati pasien Covid-19 .
Ketiga obat yang diproduksi di luar negeri tersebut yakni Rendesivir, Actemra, dan Gammaraas.
"Kami menyadari bahwa ada obat-obatan impor yang memang secara global suplainya sangat ketat," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin usai rapat terbatas dengan Presiden, Jumat (16/7/2021).
Baca juga: Sulit Didapatkan, Pemerintah Cari Obat yang Mirip Actemra Sebagai Alternatif Terapi Pasien Covid-19
Untuk mencari ketiga jenis obat itu pemerintah sampai melakukan komunikasi dengan perusahaan pembuat obat dimaksud.
Untuk Rendesivir kata Budi, pemerintah saat ini berupaya berkomunikasi dengan India sebagai salah satu negara Produsen seperti untuk nengekspornya ke Indonesia.
Selain itu juga berkomunikasi dengan otoritas China agar bisa mengirimkan obat yang sejenis dengan Rendesivir.
"Itu sekarang solusinya kita sudah negosiasi dengan ibu Menlu dibantu agar India bisa buka kembali keran ekspornya dan sudah mulai masuk 50 ribu vial minggu ini, dan bertahap, 50 ribu per Minggu. Kita juga buka akses ke China supaya obat yang mirip dengan Rendesivir bisa kita bawa masuk," katanya.
Sementara itu untuk obat Actemra, kata Menkes, memang sulit mendapatkannya di pasaran.
Pemerintah telah berkomunikasi dengan salah satu perusahaan Swiss yang menjadi produsen obat tersebut.
Berdasarkan hasil komunikasi diketahui memang suplai Actemra sangat terbatas.
"Kita mencari beberapa alternatif obat yang mirip dengan Actemra dari Amerika Serikat, karena kebetulan AS saat gelombang pertama dan kedua punya stok obat yang cukup banyak," katanya.
Terakhir yakni obat Gammaraas yang mengandung Plasma Imunoglobulin.
Pemerintah berkomunikasi dengan Perusahaan China yang menjadi salah satu produsen obat tersebut untuk dapat mengekspornya ke Indonesia.
"Sekarang kita sudah bisa mendatangkan 30 ribu vial, tapi kita butuh lebih banyak dan dibantu Kemlu kita terus melakukan lobi-lobi dengan pemerintah China. Jadi 3 obat impor itu yang terus kita kejar agar bisa memenuhi kebutuhan di dalam negeri," pungkasnya.
Penjelasan Luhut
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Marinves) yang juga merupakan penanggungjawab pelaksanaan PPKM Darurat, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa pemerintah sedang berupaya agar obat Actemra yang digunakan untuk pengobatan pasien Covid-19, bisa diproduksi di Indonesia.
Pemerintah saat ini sedang membahas izin lisensi obat tersebut agar bisa diproduksi di dalam negeri.
Hal itu dikatakan Luhut usai rapat terbatas dengan Presiden, Senin, (12/7/2021).
"Sebentar lagi kami dengan Menkes akan bicara mengenai lisensi untuk Actemra supaya kita bisa produksi dalam negeri. Saya kira ini semua berjalan," kata Luhut.
Luhut mengatakan bahwa jumlah Actemra di Indonesia masih kurang.
Selain Actemra, obat Rendesivir yang juga digunakan untuk pasien Covid-19 persediannya terbatas.
"Kita berharap obat ini, tadi hanya rendesivir yang kurang," pungkasnya.
Sekilas mengenai obat Actemra
Actemra adalah merk obat yang berisi Tocilizumab.
Actemra direkomendasikan World Health Organization (WHO) untuk pasien Covid-19.
Sebagaimana diberitakan KOMPAS.com pada Rabu (7/7/2021), berikut ini 3 fakta Actemra, obat yang direkomendasikan WHO untuk pasien Covid-19.
1. Obat antibodi monoklonal
Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt. mengatakan bahwa Actemra adalah obat antibodi monoklonal dan merupakan anti interleukin 6.
Obat ini digunakan untuk mengobati penyakit autoimun yang menyerang persendian, karena Actemra mampu mengurangi radang yang dialami pasien rheumatoid arthritis.
Actemra bisa menekan jumlah interleukin 6 (IL-6) yang cukup tinggi pada kasus rheumatoid arthritis.
Jika tidak segera diobati, interleukin 6 (IL-6) bisa memicu peradangan di seluruh tubuh.
2. Dapat membantu pengobatan pasien Covid-19
Peningkatan interleukin 6 (IL-6) serupa rheumatoid arthritis ditemukan juga pada pasien positif Covid-19.
Kondisi tersebut terdeteksi pada pasien Covid-19 dengan gejala berat dan kritis.
Peningkatan interleukin 6 dapat memicu badai sitokin, yaitu respons imun tubuh yang berlebihan akibat infeksi.
Ada banyak penyebab badai sitokin, namun salah satunya adalah peningkatan IL-6.
Gejala yang paling sering muncul akibat badai sitokin adalah acute respiratory distress syndrome (ARDS).
Akan tetapi, badai sitokin juga bisa menyebabkan hiperinflamasi di seluruh tubuh dan menyebabkan kerusakan organ tubuh.
Beberapa penelitian membuktikan, penggunaan Actemra bisa mengatasi badai sitokin pada pasien Covid-19 dengan menurunkan beberapa penanda inflamasi, seperti CRP, ferritin, dan interleukin 6.
Walaupun begitu, obat ini hanya tersedia di rumah sakit dan harus berdasarkan resep dokter untuk pasien Covid-19 dengan gejala berat dan kritis.
3. Harganya mahal
Actemra dapat dibeli dengan harga yang cukup mahal. Menurut Prof Zullies, ada beberapa faktor yang membuat obat ini dibanderol dengan harga tinggi.
Prof Zullies mengatakan, teknologi untuk membuat dan mengembangkan Actemra tidak sama seperti produksi obat pada umumnya.
Selain itu, pembuatannya pun sangat sulit sehingga sebagian besar harus diimpor dari negara lain.
Obat yang berupa protein biologi ini harus disimpan pada tempat dengan suhu tertentu.
Oleh sebab itu, obat ini tidak perlu diberikan kepada pasien Covid-19 tanpa gejala atau bergejala ringan.
Selain itu, pasien dengan klasifikasi tersebut tidak mengalami kondisi badai sitokin.
Sumber: Tribunnews.com/Kompas.com