Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan RI, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid mengatakan lonjakan kasus kematian yang terjadi akhir-akhir ini terjadi akibat akumulasi kasus yang belum terlaporkan di hari-hari sebelumnya.
"Data kematian itu akumulasi dari tanggal atau minggu sebelumnya. Bahkan ada beberapa bulan sebelumnya, dan ini menjadi kurang pas bila dijadikan indikator kondisi riil saat ini," ujar Nadia saat dikonfirmasi, Rabu (11/8/2021).
Alasan inilah yang membuat pemerintah mengeluarkan angka kematian sebagai indikator Covid-19.
"Dengan evaluasi tersebut, kami kemudian memutuskan untuk mengeluarkan angka kematian yang akumulasi tanggal atau minggu sebelumnya dalam penilaian supaya tidak menimbulkan bias dalam penilaian sambil terus perbaikan data ini selesai dilakukan daerah," jelas perempuan berhijab ini.
Baca juga: Indikator Kematian Covid-19 Dihapus, Guru Besar FKUI: Jika Data Tak Baik Segera Perbaiki
Diketahui dalam kurun waktu tiga minggu terakhir, Kementerian Kesehatan merilis angka Kematian akibat Covid-19 yang cenderung tinggi seperti di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tenaga Ahli Kementerian Kesehatan dr. Panji Fortuna Hadisoemarto, MPH, menyampaikan berdasarkan analisis dari data National All Record (NAR) Kementerian Kesehatan, didapati pelaporan kasus kematian yang dilakukan daerah tidak bersifat realtime dan merupakan akumulasi dari bulan-bulan sebelumnya.
NAR adalah sistem big data untuk pencatatan laboratorium dalam penanganan Covid-19 yang dikelola oleh Kemenkes.
Berdasarkan laporan kasus Covid-19 di tanggal 10 Agustus 2021 misalnya, dari 2.048 kematian yang dilaporkan ternyata sebagian besar bukanlah angka kematian pada tanggal tersebut atau pada seminggu sebelumnya.
Bahkan 10,7% diantaranya berasal dari kasus pasien positif yang sudah tercatat di NAR lebih dari 21 hari namun baru terkonfirmasi dan dilaporkan bahwa pasien telah meninggal.
“Kota Bekasi, contohnya, laporan kemarin (10/8) dari 397 angka kematian yang dilaporkan, 94% diantaranya bukan merupakan angka kematian pada hari tersebut, melainkan rapelan angka kematian dari bulan Juli sebanyak 57% dan bulan Juni dan sebelumnya sebanyak 37%. Lalu 6% sisanya merupakan rekapitulasi kematian di minggu pertama bulan Agustus,” terang dr. Panji dalam keterangan tertulis.
Contoh lain adalah Kalimantan Tengah dimana 61% dari 70 angka kematian yang dilaporkan kemarin adalah kasus aktif yang sudah lebih dari 21 hari namun baru diperbaharui statusnya.
dr. Panji menuturkan lebih dari 50 ribu kasus aktif yang saat ini adalah kasus yang sudah lebih dari 21 hari tercatat namun belum dilakukan pembaharuannya.
"Kita saat ini sedang mengkonfirmasi status lebih dari 50 ribu kasus aktif. Jadi beberapa hari kedepan akan ada lonjakan di angka kematian dan kesembuhan yang bersifat anomali dalam pelaporan perkembangan kasus Covid-19. Tapi ini justru akan menjadikan pelaporan kita lebih akurat lagi," tutur dr. Panji.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat drg. Widyawati, MKM menambahkan, adanya keterlambatan dalam pembaharuan pelaporan dari daerah akibat keterbatasan tenaga kesehatan dalam melakukan input data akibat tingginya kasus di daerah mereka pada beberapa yang minggu lalu.
“Tingginya kasus di beberapa minggu sebelumnya membuat daerah belum sempat memasukkan atau memperbarui data ke sistem NAR Kemenkes.” terangnya.
Ia mengatakan, lonjakan-lonjakan anomali angka kematian seperti ini akan tetap dilihat setidaknya selama dua minggu ke depan.
Kementerian Kesehatan sangat mengapresiasi pemerintah daerah yang telah melakukan pembaharuan data sesegera mungkin.
“Tentunya ini tidak mengurangi semangat kita untuk terus berpacu menyampaikan data yang transparan dan realtime kepada publik,” tutur drg Widyawati.