Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Upaya vaksinasi dinilai belum maksimal menjangkau masyarakat.
Padahal, persediaan vaksin menumpuk di berbagai daerah.
Jangkauan vaksinasi masih timpang, terutama di luar Jawa dan Bali.
Perlu langkah terobosan agar vaksinasi bisa segera dilakukan merata di seluruh wilayah Indonesia?
Data Kementerian Kesehatan per 26 Agustus 2021 menunjukkan rasio populasi yang mendapat vaksin baru 29 dari 100 atau kurang dari 30 persen.
Jika dibandingkan dengan laju vaksinasi pekan lalu, stok vaksin di Kabupaten Maybrat, Papua Barat, diperkirakan baru habis dalam 298 hari ke depan.
Di Kabupaten Yalimo, Papua persediaan vaksin baru habis untuk 1.080 hari lagi.
Bahkan, stok vaksin di Kabupaten Yahukimo, Papua, baru akan tuntas 1.775 hari atau 4,86 tahun ke depan saking banyaknya.
Baca juga: Jubir Penanganan Covid: Masyarakat Harus Persiapkan Diri Hidup dengan Covid, Meski Tak Mudah
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika menyebutkan jika ada persoalan yang membuat vaksinasi di daerah terhambat.
Yaitu banyaknya desa belum tersentuh program vaksinasi karena konflik pertanahan.
Karena lahan yang ditinggali masyarakat masih berstatus konflik, program pembangunan pemerintah tak menjangkau mereka.
"Misalnya, dana desa tak masuk, infrastruktur jalan belum dibangun, gedung sekolah belum ada, begitu pula puskesmas. Dengan kondisi tertinggal ini, mereka sulit dijangkau oleh layanan kesehatan," ungkapnya dalam keterangan resmi, Kamis (26/8/2021).
Baca juga: BREAKING NEWS: Covid-19 di RI Hari Ini Bertambah 16.899, Angka Kematian Turun di Bawah 1000 Kasus
Sesuai data Konsorsium Pembaruan Agraria, saat ini, setidaknya ada 532 desa yang saat ini lahannya dalam status konflik agraria. Desa-desa itu tersebar di 99 kabupaten di 20 provinsi, dengan penduduk sekitar 201 ribu kepala keluarga.
“Mereka semua bisa terpinggirkan dalam program vaksinasi. Pelaksanaan vaksinasi, kemungkinan akan lebih menjangkau mereka, jika tak ada diskriminasi terkait status lahan milik warga,” kata Dewi lagi.
Tak hanya soal status lahan, ada banyak persoalan yang membuat petani atau kelompok marjinal lain terhambat mengakses vaksin. Misalnya mereka yang berusia lanjut, kesenjangan teknologi, atau kepemilikan perangkat.
Di sisi lain Lokasi vaksinasi yang lazimnya menggunakan fasilitas pemerintahan, di kota kecamatan atau kota kabupaten. Seringkali menyulitkan karena jauh dari penduduk yang tinggal di pelosok.
"Untuk mendapat vaksin, mereka harus meninggalkan pekerjaannya,” ujar Dewi.