TRIBUNNEWS.COM - Pandemi Covid-19 tak hanya berdampak pada sektor kesehatan, pendidikan, dan perekonomian, tetapi juga pada kehidupan rumah tangga. Tak sedikit bahtera rumah tangga di Indonesia yang kandas di tengah pandemi.
Melalui esai yang berjudul “Fenomena Perceraian di Masa Pandemi dalam Perspektif Psikologis”, mahasiswa Magister Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Rizky Sembada Sapta Putra, menjelaskan bagaimana Covid-19 mempengaruhi perubahan emosional dan perubahan perilaku manusia dan memicu perceraian.
Berdasarkan analisis penulis, Pengadilan Agama Surakarta sendiri sudah merasakan dampak pandemi berupa peningkatan persentase perceraian. Nyaris selama 24 jam berada di rumah rentan menimbulkan berbagai konflik atau gesekan antar sepasang suami istri, mulai dari perbedaan pendapatan hingga kemungkinan terjadinya perselingkuhan bagi pihak yang bekerja jauh dari rumah, dan tak bisa pulang bertemu keluarga.
Pasangan yang tak bisa menyeimbangkan hubungan, waktu, dan aktivitasnya satu sama lain dapat mengalami perselisihan yang memuncak dan berpotensi berakhir dengan perceraian.
Sebagaimana kita ketahui bersama, imbas nyata dari Covid-19 ini adalah kehidupan yang begitu sulit. Pekerjaan, PHK di mana-mana, perusahaan banyak yang tutup karena tidak membayar gaji karyawannya. Selain itu, perusahaannya juga tidak bisa lagi memproduksi barang dan jasa sebagaimana biasanya tentu hal ini berimbas pada indivindu karyawan atau pengusaha itu sendiri.
Penulis menambahkan, tingkat emosi dan kesabaran manusia berbeda-beda dilihat juga dari seberapa besar tekanan atau stimulus yang membuat seseorang tersebut mampu berpikir logis atau bersabar, serta efek dan pengaruh lingkungan yang benar-benar mempengaruhi kehidupan dan pola pikir seseorang (sociality psychology).
Ketika seseorang mengalami tekanan berat dalam hidup, otomatis tingkat emosinya lebih mudah terpicu. Dalam kondisi sulit, permasalahan kecil dapat menjadi rumit dan membangkitkan amarah. Kata-kata biasa dapat menyulut angkara murka.
Banyak faktor perceraian yang menyebabkan perceraian tersebut diantaranya adalah kondisi ekonomi, adanya orang ketiga, ketidakadaan hubungan romantis di rumah tangga dan juga kondisi emosional yang tak terkendali.
Dengan kata lain, penulis menyimpulkan bagaimana emosi yang semakin besar karena tekanan kondisi kehidupan dampak pandemi Covid-19 menyebabkan perceraian rumah tangga. Saat tertekan oleh keadaan, manusia menjadi mudah memutuskan sesuatu tanpa berpikir panjang.
Melansir Psychology Mania, pengaruh emosi terhadap tingkah laku manusia sangat dominan. Kemampuan seseorang dalam mengarahkan dan menyesuaikan emosi terhadap situasi akan berpengaruh pada perilaku dan hubungan sosial.
Berdasarkan William Stern, ada tiga golongan dalam membedakan emosi seseorang, yakni: 1) emosi individu yang bersangkutan dengan keadaan-keadaan sekarang yang dihadapi, 2) emosi yang menjangkau maju, merupakan jangkauan kedepan dalam kejadian –kejadian yang akan datang, jadi masih dalam pengharapan, 3) emosi yang berhubungan dengan masa lampau, atau melihat kebelakang hal-hal yang telah terjadi.
Sedangkan, mengenai pengaruh emosi terhadap tingkah laku manusia, penulis mengutip Hein yang mengemukakan pengaruh emosi terhadap tingkah laku manusia. Pertama, sebagai alat mempertahankan kehidupan bila individu merasa kesepian (lonely), butuh relasi (connection) dengan orang lain, merasa ketakutan, membutuhkan keamanan dan merasa ditolak, individu membutuhkan dukungan (acceptance).
Kedua, sebagai alat pembuat keputusan (decision making), sebagai batas atau benteng (boundary setting) untuk melindungi ketahanan fisik dan mental. Keempat, sebagai alat komunikasi (communication) kepada orang lain seperti bila merasa sedih atau patah hati, maka menampakkan sinyal pada orang lain untuk memberi bantuan, dan yang terakhir sebagai alat untuk persatuan bagi umat manusia (unity), 6) sebagai alat kebebasan untuk memilih (freedom of choice).
Sebagai contoh, seorang suami memiliki emosi yang lebih intens saat menghadapi tekanan kondisi ekonomi di tengah pandemi Covid-19. Misalnya, saat pendapatan keluarga berkurang akibat suami tak lagi bekerja. Hal ini menimbulkan efek riskan yang amat besar; intensitas tersebut menghilangkan kepekaan satu dan lainnya. Di sinilah emosi akan mudah tersulut dan memicu kehancuran rumah tangga.
Pada kasus di atas, tampak bahwa keadaan ekonomi juga pengaruh emosi jadi penyebab perceraian dalam rumah tangga, selain dari permasalahan internal pasangan itu sendiri.
Perceraian dalam perspektif Islam
Dalam Islam, pernikahan adalah hal sakral. Bila tak dapat dilanjutkan meski telah dilakukan segala cara, pernikahan harus diselesaikan secara baik-baik. Meski tak dilarang dalam agama Islam, Allah SWT membenci perceraian.
Berdasarkan kritisi penulis, Alquran telah mengatur tentang hukum islam dalam hubungan rumah tangga. Islam menganjurkan pasangan suami istri untuk mencari jalan keluar lain. Perceraian adalah jalan paling terakhir. Menekankan hal tersebut, penulis mengutip surat Al-Baqarah ayat 227 yang berbunyi, “Dan jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui”.
Untuk itu, sangat penting bagi suami dan istri untuk saling menjaga komunikasi dengan baik dan mengingat kembali apa dasar utama mereka menikah sekaligus tujuan apa yang ingin mereka wujudkan. Lebih jauh lagi, analisis penulis mengungkapkan, pasangan juga perlu kembali memahami hak dan kewajibannya masing-masing untuk mencegah perceraian. Namun, faktor lingkungan sekitar juga bisa jadi pendorong perceraian.
Mengutip Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran dan Asesmen (Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom) (2010), dari perspektif teori cognitive neo-associanist model dan teori general affective aggression model dari Anderson, penyebab munculnya perilaku agresif adalah situasi yang tidak menyenangkan atau mengganggu juga adanya faktor individual dan situasional yang dapat saling berinteraksi mempengaruhi kondisi internal seseorang.
Id, ego, dan superego
Melalui analisis lebih lanjut, penulis menambahkan konsep psikodinamika yang dikenal dengan istilah id, ego dan superego. Insting atau gharaiz, merupakan bagian dari struktur id, dimana perwujudan psikologisnya disebut sebagai Hasrat (wish), dan rangsang jasmaniyahnya disebut sebagai kebutuhan (need).
Tak ketinggalan, untuk melengkapi pembahasannya mengenai emosi, penulis juga mengutip id, ego, dan superego, tiga elemen dari struktur psikologis yang digagas Sigmund Freud. Ketiga hal tersebut saling terpisah namun tetap saling berinteraksi. Freud menganalogikan ketiga elemen tersebut seperti bongkahan es, yang terlihat di permukaan hanya sebagian kecil dari seluruh elemen.
Id merupakan hal yang mendasari personalitas seseorang. Id direpresentasikan sebagai kebutuhan dasar alamiah (contoh: makan, minum, dan seks). Id mencari kepuasan secara instan terhadap keinginan dan kebutuhan manusia. Apabila kedua ini tidak terpenuhi, seseorang dapat menjadi tegang, cemas, atau marah.
Ego berurusan dengan kenyataan dan berusaha memenuhi keinginan id dengan cara yang dapat diterima secara sosial. Ego mengerti bahwa orang lain juga memiliki kebutuhan dan keinginan. Oleh karena itu, menjadi egois dalam jangka panjang bukanlah hal yang baik.
Yang terakhir, superego, merupakan aspek moral dari suatu kepribadian yang didapat dari pengasuhan orang tua atau norma-norma dan nilai-nilai di dalam masyarakat dan didasarkan pada moral tentang benar dan salah.
Meskipun superego dan ego dapat mencapai keputusan yang sama tentang sesuatu, alasan superego untuk mengambil keputusan lebih didasarkan pada nilai-nilai moral. Sedangkan, keputusan ego lebih didasarkan pada apa yang dipikirkan orang lain.