TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pandemi covid-19 belum juga berakhir. Terakhir, muncul mutasi baru dari virus corona yakni varian omicron. Seberapa bahayanya?
Organisasi kesehatan dunia atau WHO belum lama ini mengumumkan, varian Omicron sebagai Variant of Concern (VOC) atau varian yang menjadi perhatian sehingga patut diwaspadai.
Pasca penetapan varian asal Afrika Selatan ini, sejumlah negara termasuk Indonesia melakukan upaya pencegahan dengan menutup bandara dari kedatangan WNA dari negara yang sudah terdeteksi Omicron.
Baca juga: Jelang Natal dan Tahun Baru, Ganjar Minta Warga Hati-hati Terhadap Varian Omicron
Baca juga: Berbeda dari Varian, Delta Dokter di Afrika Selatan Ungkap Gejala Covid-19 Omicron: Sangat Ringan
Seperti diketahui, per kemarin kasus akibat Omicron sudah ditemukan di semua lima benua di dunia.
"Ada laporan kasus dari Kanada di benua Amerika dan juga dari Australia Hal ini tentu membuat kita memang perlu ekstra waspada dan hati-hati," ungkap ahli penyakit paru, Prof Tjandra Yoga Aditama.
Berikut fakta yang diungkap WHO juga ulasan pakar yang dirangkum Tribunnews.com
Baca juga: Waspada Meluasnya Varian Omicron, Inggris Intensifkan Program Vaksin Booster
Baca juga: Muncul Varian Omicron, Hambat Target Indonesia Bebas AIDS 2030
Enam Fakta WHO tentang Varian Omicron
WHO telah menyatakan Omicron sebagai VOC atau variant of concern karena meningkatkan kewaspadaan yang tinggi
Mantan petinggi WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama menyebut, WHO pada 28 November telah menginformasikan enam analisa tentang kemungkinan dampak varian ini.
Mulai dari penularan hingga efektivitas vaksin Covid-19.
1. Penularan
Belum terlalu jelas sekali apakah Omicron memang lebih mudah menular katimbang varian lain, termasuk Delta.
Tetapi memang jumlah orang yang positif varian ini terus meningkat di Afrika Selatan, dan perlu studi epidemiologi mendalam tentang hal ini.
2. Beratnya penyakit.
Ada tiga hal yang masih perlu pendalaman lebih lanjut.
Pertama, belum terlalu jelas apakah Omicron mengakibatkan sakit lebih berat. Data awal memang menunjukkan dugaan ada peningkatan masuk RS di Afrika Selatan, tapi harus diteliti lebih lanjut analisanya.
Kemudian juga sejauh ini tidak ada (atau setidaknya belum ada) informasi ilmiah yang menyebutkan gejala akibat Omicron berbeda dengan akibat varian lain.
Baca juga: Hong Kong Larang Kedatangan Non-penduduk dari 13 Negara Ini Terkait Omicron
Baca juga: Ini Aturan Baru Imigrasi Cegah Covid-19 Omicron Masuk Indonesia
Serta emang ada laporan awal dari data mahasiswa bahwa kaum muda cenderung keluhannya lebih ringan, tapi kepastian dampat beratnya varian Omicron baru akan ada dalam beberapa hari atau minggu kedepan.
"Kita sudah ketahui, semua varian Covid-19 sejauh ini dapat menimbulkan penyakit berat dan kematian apalagi pada kelompok rentan (Lansia, komorbid, gangguan imunitas lain). Jadi sambil menunggu data ilmiah lebih lengkap maka kita harus terus waspada dan pencegahan (3M, 3T dan vaksinasi) tetap merupakan hal utama," pesan Prof Tjandra.
3. Kemungkinan Infeksi Ulang
Data awal memang menunjukkan, infeksi varian Omicrom meningkatkan risiko Infeksi ulangan, seseorang yang sudah sakit dan sembuh kemudian jatuh sakit lagi.
4. Efektifitas Vaksin
WHO masih terus menganalisa hal ini bersama para pakar di dunia.
5. Efektifitas test PCR
Sejauh ini test PCR masih dapat mendeteksi Infeksi COVID-19, termasuk akibat Omicron.
"Sekarang penelitian masih terus berjalan, termasuk ada tidaknya kemungkinan dampak pada rapid antigen tes," imbuhnya.
Ada berita lain tentang kemungkinan Gene S yang mungkin sulit terdeteksi dengan PCR walau ada dua kelompok Gene lain yang masih terdeteksi, walaupun ini masih perlu penelitian lebih lanjut
6. Efektifitas pada Pengobatan
Sesuai dengan Pedoman Pengobatan WHO tanggal 24 November 2021 atau dua hari sebelum Omicron dinyatakan sebagai VOC, maka Kortikosteroid dan IL6 Receptor Blockers masih tetap efektif untuk menangani pasien Covid-19 yang berat dan parah. Tentu perlu analisa lebih lanjut tentang kalau mungkin ada dampaknya pada varian Omicron.
Pakar UGM Sebut Omicron Belum Terbukti Lebih Menular dari Varian Delta
Ketua Pokja Genetik FKKMK UGM, dr. Gunadi,Sp.BA., Ph.D., mengatakan masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan terhadap kemunculan varian omicron.
Meski demikian, tetap waspada jika varian ini terdeteksi di tanah air.
“Masyarakat sebaiknya tetap waspada tapi tidak perlu khawatir berlebihan. Apalagi pemerintah sudah melakukan langkah-langkah preventif termasuk menutup bandara untuk WNA dari negara dimana varian omicron terdeteksi,” kata Gunadi dikutip dari laman ugm.ac.id, Selasa (30/11/2021).
Gunadi mengatakan, virus Covid-19 akan terus bermutasi dengan memunculkan varian-varian baru dengan tingkat keganasan dan daya penularan yang berbeda satu sama lain.
Namun sampai saat ini varian Omicron belum terbukti lebih menular dan berbahaya dari varian Delta.
“Belum ada bukti yang kuat. Yang ada buktinya adalah reinfeksi, tapi itupun masih minimal buktinya,” paparnya.
Meski masih minim penelitian tentang varian ini, ia sepakat dengan rekomendasi dari WHO yang menyarankan agar varian baru ini patut diwaspadai. “Tetap diminta waspada oleh WHO,” jelasnya.
Menurutnya, vaksin dan penerapan protokol kesehatan ketat menjadi kunci dalam mencegah penularan tiap ada varian baru Covid-19.
Kedua strategi ini merupakan cara efektif untuk mencegah infeksi varian omicron.
“Sampai sekarang belum ada bukti yang menyatakan bahwa vaksin tidak efektif untuk omicron. Perlu waktu untuk membuktikannya,”tegasnya.
Seperti diketahui, per kemarin kasus akibat Omicron sudah ditemukan di semua lima benua di dunia.
"Ada laporan kasus dari Kanada di benua Amerika dan juga dari Australia Hal ini tentu membuat kita memang perlu ekstra waspada dan hati-hati," ungkap ahli penyakit paru ini.
Menelisik Penyebab Munculnya Varian Omicron Versi Epidemiolog
Varian mutasi Covid-19 asal Afrika Selatan yaitu Omicron telah jadi perbincangan utama.
Sejak WHO menetapkan varian ini menjadi Varian of Concern (VOC), beberapa negara mulai memberlakukan protokol yang ketat.
Sebagian epidemiologi menyebutkan jika varian ini perlu diwaspadai. Pertama, penyebaran yang cepat dan sudah ditemukan di berbagai dunia.
Kedua adanya kemungkinan infeksi ulang. Dan ketiga, serangan pada sistem imun.
Menurut Ahli Epidemiologi Indonesia dan Peneliti Pandemi dari Griffith University, Dicky Budiman, memang ada beberapa faktor yang memicu munculnya varian super ini.
Pertama adanya ketimpangan vaksin pada suatu negara. Namun menurut Dicky tidak hanya itu, ada faktor lainnya.
"Iya karena jelas karena ketimpangan vaksin, menjdi penyebab. Tapi bicara penyebab dari satu varian super ini timbul multifaktor. Bukan hanya vaksin tidak merata di dunia," ungkapnya pada Tribunnews, Selasa (30/11/2021).
Kedua, karena kurang baiknya suatu negara dalam mendeteksi virus. Baik itu testing, treacing dan treatment (3T) dan juga survelen genomic.
"Melalui 3T terutama survelen genomic tidak merata dan kuat di banyak negara, seperti Afrika, akhirnya menghasilkan varian ini," ungkapnya.
Namun bukan hanya Afrika saja. Belahan dunia manapun ketika kemampuan 3T survelen genomic lemah, ditambah vaksinasi yang lambat, rawan melahirkan mutasi Covid-19 yang berbahaya.
"Ditambah jumlah penderita HIV-AIDS termasuk kategori banyak. Pada konteks ini, ketika terinfeksi itu umumnya lama untuk mengalami pemulihan. Dan semakin lama virus dalam tubuh manusia, semakin banyak peluang bermutasi,"pungkasnya.
(Tribunnews.com/Rina Ayu/Aisyah Nursyamsi)