Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JENEWA - Kepala Ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr Soumya Swaminathan pada Senin kemarin mengatakan bahwa infeksi ulang yang ditimbulkan varian baru (Covid-19) omicron bisa mencapai 3 kali lipat dibandingkan delta.
Dikutip dari laman news18, Selasa (7/12/2021), ia menyampaikan pengumpulan data tentang virulensi dan penularan pada varian ini tentu akan membutuhkan waktu, dan saat ini yang diketahui para ilmuwan adalah bahwa omicron telah menjadi strain yang dominan di Afrika Selatan.
Baca juga: Israel Laporkan 4 Infeksi Omicron, Total Jadi 11 Kasus
Baca juga: Pemerintah dan Masyarakat Perlu Belajar dari Kegagalan Cekal Delta untuk Cegah Penularan Omicron
"Infeksi ulang 90 hari setelah infeksi tiga kali, lebih sering terjadi di omicron dibandingkan delta. (Ini adalah) hari-hari awal untuk menguraikan gambaran klinis tentang infeksi omicron," kata Dr Swaminathan.
Ia menjelaskan bahwa ada jeda antara peningkatan kasus infeksi dan peningkatan jumlah pasien rawat inap.
"Kita harus menunggu selama dua sampai tiga minggu untuk mempelajari tingkat rawat inap untuk mengetahui seberapa parah penyakit ini," jelas Dr Swaminathan.
Menurutnya, kasus Covid-19 di Afrika Selatan meningkat secara signifikan setelah munculnya varian omicron.
"Laporan menunjukkan bahwa lebih banyak anak terinfeksi oleh varian ini di negara itu," tegas Dr Swaminathan.
Dr Swaminathan menunjukkan bahwa saat ini tidak banyak vaksin yang tersedia untuk kelompok anak-anak.
Hanya beberapa negara yang telah memulai program vaksinasi untuk anak-anak.
Ia pun mperingatkan potensi peningkatan kasus karena belum tersedianya vaksin Covid-19 untuk anak-anak secara serempak di seluruh dunia.
"Tidak banyak vaksin yang tersedia untuk anak-anak dan sangat sedikit negara yang memvaksinasi anak-anak. Anak-anak dan yang tidak divaksinasi mungkin mendapatkan lebih banyak infeksi saat kasus meningkat. Kami masih menunggu data untuk menyimpulkan dampak varian omicron ini pada anak-anak," papar Dr Swaminathan.
Ia menegaskan bahwa dunia perlu mengambil pendekatan yang komprehensif dan berbasis sains tentang program vaksinasi ini.
"Ini adalah virus yang sama yang kita hadapi dan karenanya tindakan untuk melindunginya pun akan sama. Jika kita membutuhkan vaksin varian, itu akan tergantung pada seberapa kebal varian ini terhadap vaksin," tutur Dr Swaminathan.
Semua negara, kata dia, harus mempelajari data vaksin berdasarkan usia dan wilayah untuk menilai kelompok mana yang harus menjadi prioritas.
"Misalkan memvaksinasi semua yang berusia di atas 18 tahun untuk mengurangi risiko penularan," kata Dr Swaminathan.
Data besar dari Amerika Serikat (AS) telah menunjukkan bahwa vaksin terus memiliki perlindungan yang kuat terhadap risiko kematian.
"Ada ketidakadilan dalam cakupan vaksin secara global. Fasilitas Covax WHO memiliki pesanan pembelian di muka dengan jumlah yang besar untuk Covishield, sehingga pasokan Covishield untuk fasilitas Covax WHO akan meningkat sekarang. Fasilitas Covax-nya juga memiliki kontrak untuk Covovax." jelas Dr Swaminathan.
Komite SAGE WHO pun akan melakukan pertemuan pada 16 Desember mendatang untuk menilai Otorisasi Penggunaan Darurat (EUA) vaksin Covovax.
Sebanyak 25 negara, kata dia, sedang berjuang dengan cakupan vaksin yang rendah.
"Badan Obat Eropa (EMA) dan Badan Pengatur Obat dan Produk Kesehatan (MHRA) juga melakukan penilaian pada vaksin Novavax bulan ini. (Kami) telah meminta produsen vaksin untuk memberikan visibilitas pada pasokan vaksin. Pabrikan di masa lalu memprioritaskan pesanan lain daripada Covax dan karenanya mereka membutuhkan visibilitas sebelumnya pada pasokan," tegas Dr Swaminathan.
Ia menekankan bahwa pihaknya ingin lebih banyak berbagi data dalam situasi pandemi ini.
"Dan kami perlu mendukung negara-negara yang mengungkapkan varian dan data. Kami membutuhkan kesepakatan terkoordinasi antar negara untuk tidak menimbulkan reaksi spontan dalam menangani pandemi ini," pungkas Dr Swaminathan.