TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Epidemiologi Griffith University Dicky Budiman menyebutkan jika bicara soal prediksi puncak kasus Covid-19, maka bersifat dinamis, terutama di tengah keterbatasan testing.
"Karena yang dimaksud pemerintah puncak itu ketika jumlah kasus paling banyak kan. Kemudian dianggap menurun. Tapi, kalau bicara ketepatannya, kita harus ingat berdasar seberapa kuat strategi testing dan tracing," ungkapnya pada Tribunnews, Selasa (5/7/2022).
Karena jika testingnya tidak memadai dan akurat, maka ketepatan masa puncak kasus infeksi itu juga menjadi tidak akurat.
Selain itu harus disadari jika masa puncak ada tiga sebetulnya.
Dikatakan, masa puncak kasus infeksi, masa puncak kasus kesakitan, yang artinya dirawat di rumah sakit, dan masa puncak di kematian.
Baca juga: Cakupan Booster Covid-19 Masih Rendah, Menkes Sebut Bukan Hanya Masalah Indonesia Saja
Tiga masa puncak ini akan punya interval pada waktu yang bisa berbeda sebetulnya. Misalnya, kasus infeksi memuncak, dua minggu kemudian atau sampai 1 bulan kasus kematian akan mengalami peningkatan.
Atau kasus kesakitan terjadi setelah dua minggu puncak kasus infeksi. Karena orang terinfeksi, belum tentu bergejala dan belum tampak sakit. Belum tentu menyebabkan kematian.
"Itu yang harus dipahami. Nah dalam konteks Indonesia dalam beberapa gelombang seringkali masa puncaknya berdekatan," kata Dicky lagi.
Hal ini dikarenakan yang dilakukan Indonesia strategis testingnya itu pasif. Jadi yang melakukan testing hanya pada orang yang bergejala.
Diikuti oleh masyarakat yang saat ini, kesadaran testing semakin menurun. Itulah sebabnya dalam beberapa gelombang seringkali kasus puncak kasus infeksi dengan kesakitan dan kematian berbarengan.
"Karena memang di situ lah orang ketika bergejala dia datang, telat ditangani dan langsung parah, banyak yang meninggal juga. Itu yang pola seperti Delta khususnya," tegas Dicky.