TRIBUNNEWS.COM - Varian Covid-19 baru yang menjadi perhatian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tampaknya menyebabkan gejala baru pada anak-anak yang jarang disebabkan oleh varian Omicron lainnya, Fortune melaporkan.
Varian XBB.1.16 yang dijuluki "Arcturus", memicu lonjakan kasus baru di India, di saat kasus lain dilaporkan turun di sebagian besar dunia.
Kementerian Kesehatan India mengadakan uji coba untuk memastikan rumah sakit siap menghadapi lonjakan kasus Covid-19, BBC melaporkan Senin.
Beberapa negara bagian bahkan kembali mewajibkan penggunaan masker di depan umum.
Tingkat varian juga meningkat antara lain di AS, Singapura, dan Australia.
Tapi, XBB.1.16 mungkin tidak seperti varian lainnya, ujar Dr. Vipin Vashishtha, seorang dokter anak di India dan mantan kepala Komite Imunisasi Akademi Pediatrik India.
Baca juga: Arcturus, Subvarian Baru Covid-19 yang Menginfeksi Sejumlah Negara, Ini Daftarnya
Ia menyebut kasus Covid-19 pada anak meningkat untuk pertama kalinya dalam enam bulan.
Gejala yang sekarang ia lihat di antara anak-anak, di antaranya:
- Demam tinggi;
- Batuk;
- Konjungtivitis “gatal” atau mata merah tanpa nanah, tetapi dengan “mata lengket”.
Gejala nomor 3 di atas belum terlihat pada gelombang Covid-19 sebelumnya, katanya.
Kasus Covid-19 pada anak di bawah 12 tahun di India meningkat, The Times of India melaporkan pada Senin (10/4/2023).
Meskipun gejala umumnya ringan, dokter memperingatkan orang tua dari anak-anak dengan obesitas, asma, dan mereka yang menderita kondisi gangguan kekebalan lainnya, untuk tidak mengabaikan gejalanya, dan mencari perawatan jika perlu.
Para ahli mengatakan kepada The Times, mereka juga melihat peningkatan rawat inap anak-anak karena adenovirus, yang memiliki gejala mirip Covid dan juga dapat menyebabkan konjungtivitis.
Adenovirus dan Covid tidak mungkin dibedakan satu sama lain tanpa pengujian.
"Ada banyak anekdot konjungtivitis pediatrik di India saat ini," ungkap Raj Rajnarayanan, asisten dekan penelitian dan profesor di kampus Institut Teknologi New York di Jonesboro, Ark. kepada Fortune.
Richard Reithinger, seorang ahli epidemiologi penyakit menular di lembaga penelitian nirlaba RTI International, mengatakan kepada Fortune, dia juga mendengar laporan semacam itu.
Tetapi, ia menyebut mungkin terlalu dini untuk mengatakan apakah rangkaian gejala virus benar-benar telah berubah.
Konjungtivitis sebelumnya telah dilaporkan sebagai gejala COVID, catatnya, meski tidak sering.
Para peneliti di Truhlsen Eye Institute dari Nebraska Medicine sebelumnya mengidentifikasi virus dalam film air mata mata, lapisan tipis cairan yang menutupi permukaan luar mata.
Adanya virus di sana dapat menyebabkan konjungtivitis, kata institut itu dalam posting blog November.
Menurut Truhlsen Eye Institute, gejala konjungtivitis meliputi:
- Mata berair;
- Kemerahan;
- Pembengkakan;
- Nyeri atau iritasi;
- Gatal;
- Keluarnya kotoran.
XBB.1.16 memiliki "keuletan" untuk mengalahkan varian lain
Rajnarayanan memprediksi XBB.1.16 dan bibit Omicron baru lainnya, XBB.1.9, menguat selama beberapa minggu ke depan, jika tidak ada varian lain lagi yang muncul.
XBB.1.16 dan keturunannya memiliki "keuletan untuk mengalahkan" varian COVID lain, katanya, menambahkan bahwa varian baru berkembang dengan cepat.
Keluarga varian XBB.1.16 adalah kelompok besar berikutnya setelah varian Kraken, catatnya.
Ketika sampai pada pandemi, dunia saat ini berada dalam "zaman rekombinan", yakni varian yang sudah ada bergabung satu sama lain untuk berpotensi mendatangkan lebih banyak malapetaka, ujar Ryan Gregory, seorang profesor biologi di University of Guelph di Ontario, Kanada, kepada Fortune.
XBB.1.16 adalah rekombinan dari dua keturunan BA.2 yang disebut "stealth Omicron".
Sebuah studi pracetak dari para ilmuwan di Universitas Tokyo menunjukkan XBB.1.16 menyebar sekitar 1,17 hingga 1,27 kali lebih efisien daripada kerabat XBB.1 dan XBB.1.5, juga dikenal sebagai "Kraken," yang saat ini mendominasi kasus AS.
Peningkatan kemampuan XBB.1.16 untuk melampaui varian lain menunjukkan bahwa varian itu akan menyebar ke seluruh dunia dalam waktu dekat, tulis para peneliti.
Mereka menambahkan bahwa varian tersebut "sangat resisten" terhadap antibodi dari berbagai varian COVID, termasuk "stealth Omicron" BA.2 dan BA.5, yang melonjak secara global musim panas lalu.
Hal ini berarti kasus dapat meningkat lagi, bahkan di daerah yang baru-baru ini mengalami peningkatan infeksi Covid-19, terutama jika infeksi tersebut berasal dari BA.2, BA.5, atau turunannya.
Namun, varian baru mungkin tidak selalu menimbulkan “gelombang” kasus lagi.
XBB.1.16 yang paling menular sejauh ini
WHO menyatakan XBB.1.16 sebagai “varian dalam pemantauan” pada akhir Maret.
XBB.1.16 adalah varian yang paling menular, ungkap Maria Van Kerkhove, pimpinan teknis COVID-19 untuk WHO, mengatakan pada konferensi pers 31 Maret.
Mutasi tambahan pada protein lonjakan virus, yang menempel dan menginfeksi sel manusia, berpotensi lebih mudah menginfeksi dan bahkan menyebabkan penyakit yang lebih parah.
Untuk alasan ini, dan karena meningkatnya kasus di Timur, XBB.1.16 dianggap sebagai varian “yang harus diperhatikan,” kata Van Kerkhove saat itu.
Rawat inap dan kematian akibat COVID sejauh ini belum meningkat di India, meskipun keduanya disebut sebagai “indikator tertinggal”.
Artinya perkembangan seperti itu, jika terjadi, biasanya terjadi beberapa minggu setelah peningkatan kasus.
Varian ini masih belum dipecahkan di AS oleh CDC.
Pada Jumat, kasus XBB.1.16 masih dilaporkan di bawah XBB, yang hanya mencakup kurang dari 2 persen kasus di AS.
Kasus harus mencakup setidaknya 1 persen secara nasional sebelum dilaporkan dalam kategorinya sendiri.
Tetapi XBB.1.16 jelas sedang dalam proses menyusup ke AS.
Hampir setengah dari urutan yang diidentifikasi di AS diidentifikasi melalui pengawasan bandara, catat Rajnarayanan, mengutip data dari GISAID, database penelitian internasional yang melacak perubahan pada COVID dan virus flu.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)