Sabam sedang menunjukkan kepada bangsa ini, sekaligus menorehkan legacy-nya dalam literatur politik kebhinekaan, bahwa perjuangan menegakkan keadilan dan hak asasi manusia tidak mengenal sekat-sekat rasial, etnis, agama, kelompok atau tembok kepentingan apa pun. Itulah nilai kebhinekaan yang mulia, yang patut kita teladani.
"GMKI wajib membudayakan sikap itu. Sabam Sirait adalah Negarawan dan pantas diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional. Perjuangannya dalam menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia yang dibingkai dengan hati yang tulus dan melintasi semua kelompok kepentingan, terpatri selamanya dalam hati bangsa ini," ucap LaNyalla.
Dikatakannya, Sabam memberikan keteladanan tentang bagaimana seharusnya seorang politisi yang berlatar belakang Kristiani semestinya berposisi dan bersikap di tengah pluralitas bangsa ini, duduk bersama dengan semua golongan, berdiri bagi kepentingan bangsa, meskipun berjalan di jalur partai politik, yaitu Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan.
"Sikap Negarawan seperti itu jarang kita temukan di masa sekarang. Kita sekarang memiliki terlalu banyak politisi, tetapi terlalu sedikit Negarawan. Terlalu banyak leaders, tapi terlalu sedikit leadership untuk memperbaiki sistem dan praktik penyelenggaraan negara yang semakin mencemaskan, akibat politik oligarki yang sudah seharusnya diberantas," papar LaNyalla.
LaNyalla juga menjelaskan alasannya menyebut Sabam Sirait sebagai literatur keadilan. Di masa rezim Orde Baru, LaNyalla menerangkan, jarang ada politisi yang berani bersuara lantang melawan praktik-praktik monopoli. Karena penguasa akan tersinggung dan orang yang menyuarakan hal itu bisa dianggap menentang pemerintah dengan dalih anti-pembangunan.
"Sabam Gunung Panangian Sirait adalah pengecualiannya. Ia adalah tokoh sentral yang memprakarsai lahirnya Undang-Undang Anti-Monopoli, meskipun untuk memuluskan lahirnya undang-undang itu, Sabam harus berdebat selama berjam-jam dengan para menteri di masa itu," beber LaNyalla.(*)