Saat ini China memiliki pangsa pasar sekitar 17% dari total pangsa perekonomian dunia. Diperkirakan dengan kasus ini, dari berbagai lembaga dunia seperti yang disampaikan oleh Lepala Ekonomi Standar & Poor’s untuk Asia Pasifik Shaun Roche maupun analis Oxford Economics pada pada awal Februari 2020, China akan mengalami penurunan pertumbuhan sekitar 0,7-1%. Dengan demikian targetnya akan terkoreksi dari 6,7% menjadi 6,1% atau 6%.
Baca: Komisi IX DPR Sepakat Wisma Atlet Dijadikan Tempat Isolasi Pasien Corona
Penurunan ekonomi China akan menurunkan perekonomian dunia 0,2%. Terlebih China merupakan mitra dagang utama Indonesia, maka setiap penurunan pertumbuhan ekonomi China akan membuat ekonomi Indonesia tertekan. Ekspor komoditas Indonesia bakal terpukul, demikian juga sektor pariwisata.
Oleh sebab itu, perlu antisipasi menyeluruh dari pemerintah, legislatif, yudikatif, pelaku bisnis, dan industri dalam menghadapi guncangan dahsyat ekonomi dunia.
Pasar eskpor Indonesia akan tertekan. Sebab China merupakan pembeli dari sekitar 45% besi, 40% tembaga, dan 15% minyak yang diperdagangkan di dunia. China juga konsumen dari sekitar 30% komoditas beras, 25% kedelai, 20% jagung, dan 17% komoditas gandum yang diproduksi di seluruh dunia.
Korona ini juga telah membuat harga jatuh. Sebagai gambaran pada periode (17-31 Januari) di pasar global, beberapa komoditas mengalami tekanan harga jual. Harga tembaga di pasar dunia turun 12,1%, harga minyak mentah turun 10,2%, dan harga minyak kelapa sawit anjlog 9,6%.
Dampak Tidak Langsung
Pada saat yang sama, pemerintah juga harus mengamati dampak tidak langsung di sektor ekonomi industri dan perdagangan antara Indonesia-China- ASEAN dan global. Tentunya denga melibatkan pembicaraan dengan parlemen, lembaga, dan para pakar yang mengikuti secara seksama berbagai faktor yang bisa menghambat laju investasi dan kegiatan investasi di Indonesia pasca virus corona.
Demikian juga yang harus diperhatikan pemerintah dan mencarikann solusi efektif, yakni harga sejumlah komoditas ekspor dari sektor sumber daya alam juga diperkirkan akan terpukul. Kondisi ini akan memperdalam defisit neraca perdagangan.
Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil sejumlah langkah antisipasi dan harus mengoptimalkan pasar domestik. Memperluas pasar baru ekspor di luar pasar tradisional seperti Afrika dan Asia Selatan. Meski nilai awalnya kecil dibandingkan denga pasar tradisonal. Namun, jika bisa dibuka dengan konsisten dalam jangka panjang akan membuka peluang permintaan yang konsisten di masa-masa mendatang.
Pemerintah harus melakukan misi dagang, pameran dagang dan perjanjian bilateral yang lebih atraktif sebagai kombinasi yang bisa ditempuh dalam kondisi saat ini. Melakukan diversifikasi pasar untuk sawit, pemerintah juga mendesak untuk mewajibakan (mandatory) langkah prospektif peningkatan penggunaan sawit untuk biodiesel. Apakah itu B30 atau akan lebih tinggi lagi dengan komitmen, waktu pelaksanaan dan tahapan yang jelas dan tegas.
Pemerintah bisa memanfaatkan pasar wisatawan domestik meski itu tidak mudah dengan pembatasan akses seperti saat ini. Langkahnya, buat upaya untuk menggairahkan warga melakukan perjalanan ke berbagai destinasi pilihan setelah pasca pembatasan 14 hari. Pemerintah bisa memberlakukan tarif khusus penerbangan untuk merngsang wistan nusantara mau melakukan perjalanan.
Menawarkan berbagai kerja sama dengan pihak maskapai penerbangan yang batal melakukan penerbangan ke China, tentunya tetap dengan pertimbangan mengeliminasi sekecil mungkin adanya penyebaran virus.
Baca: Wabah Corona, Pimpinan DPR Rapat Virtual Putuskan Pembukaan Masa Sidang Paripurna
Terakhir, mengoptimalkan pekerja yang ada. Apakah itu pekerja lokal maupun pekerja dari China yang bertahan di Indonesia. Memanfaatkan momentum virus corona ini untuk memperkuat produksi domestik, terutama industri yang selama ini mengandalkan bahan baku dari China.
Selain itu, banyak industri di Indonesia akan bermasalah karena tidak memperoleh bahan baku. Hal ini tentu di masa mendatang akan sangat berbahaya, karena struktur industri nasional dari tahun akan semakin rentan karena ketergantungan impor yang tinggi terhadap bahan baku, bahan penolong dan barang modal. (BJN*)