Mereka lebih suka duduk-duduk di jalanan, beratap langit. Mau dari Indonesia, Malaysia, negara-negara Afrika, sampai warga Arab Saudi yang menunaikan haji.
Jalanan menuju Jamarat itu pun penuh jemaah haji, bak pasar malam.
Ada banyak hal mengapa banyak jemaah haji seperti malas bermabit tenda. Pertama, soal 'fulus'.
Ini terutama berlaku untuk mereka yang berhaji mandiri, alias tak lewat pengelolaan pemerintah negara masing-masing.
Untuk bermabit di tenda harus membayar sewa ke pengelola di Mina.
Alasan lain, bila mabit di tenda, maka berjalan ke Jamarat, atau tempat melempar jumroh, akan lebih jauh berjalan kakinya.
Dari tenda ke jamarat harus melewati Terowongan Mina dulu. Menempuh sekira 7 kilometer hingga sampai ke Jamarat.
Yang menarik, di kelompok haji yang diobrak Askar itu, ternyata ada juga rombongan haji furoda.
Iya, ini bukan salah tulis. Tapi ada jemaah haji furoda, yang dikenal sebagai hajinya para sultan itu.
Abdul Latief Ishaq (60) asal Lebak, Banten adalah salah satunya.
Dia yang membayar Rp 250 juta untuk berhaji furoda, masih juga harus kucing-kucingan dengan Askar.
Persis seperti pedagang kaki lima diobrak Satpol PP.
Ishaq mengatakan, dalam paket haji furoda yang diberikan, memang tak disediakan tempat khusus untuk mabit di Mina.
"Enggak apa-apa, paling sebentar Askar udah pergi lagi. Kita duduk lagi. Entar diusir, kita pura-pura pergi lagi. Udah gitu aja terus," kata Ishaq.
Jangan salah. Paket haji furoda yang diterima Ishaq sebenarnya mewah.
Di Mekkah dan Madinah, Ishaq mendapat fasilitas hotel bintang lima. Makanan, kata Ishaq, berlimpah dan disajikan pakai prasmanan.
"Hanya mabit ini saja kita yang enggak ada fasilitasnya. Kan mabit cuma sebentar juga," ujar Ishaq.(*)