Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.CM,TOKYO - Dalam setahun sekitar 60.000 siswa yang menempuh pendidikan di sekolah kejuruan dan perguruan tinggi (universitas) di Jepang mengundurkan diri di tengah jalan alias drop out (DO).
Jumlah tersebut mengarah kepada pencarian kerja paruh waktu atau kerja non permanen karena kehidupan di Jepang mahal, membutuhkan biaya untuk hidup yang besar.
Kementerian pendidikan budaya olahraga sains dan teknologi Jepang baru saja mengumumkan hasil surveinya untuk tahun fiskal saat ini (sampai dengan 31 Maret 2014).
"Karena jumlah yang drop out banyak sekali maka kami akan menyelidiki lebih lanjut alasan atau penyebab drop out yang sangat banyak tersebut," ungkap sumber Tribunnews.com di kementerian pendidikan, Rabu (5/2/2014) pagi.
Untuk itulah pihak kementerian akan meminta data dari semua pendidikan tinggi di Jepang agar dapat mengetahui lebih pasti lagi alasan berhentinya para mahasiswa tersebut dari sekolah masing-masing.
Sebelumnya pada tahun fiskal 2007 dan 2008 mencoba mengumpulkan data tetapi karena ada Lehman Shock, sehingga akhirnya kurang terselesaikan dengan baik.
Pada tahun fiskal 2007 dari pendidikan tinggi dan sekolah kejuruan sekolah menengah atas, yang drop out saat itu mencapai sekitar 63.000 orang dan diperkirakan 69.000 orang tahun fiskal 2008. Sedangkan drop out dari perguruan tinggi dan akademi sekitar 3 persen dari jumlah mahasiswa di Jepang.
Sebuah survei dilakukan oleh Japan Institute for Labour Policy and Training, terhadap 2.000 responden yang berusia 20-an yang berdomisili di Tokyo pada tahun 2011 memperlihatkan hasil bahwa separuh (50 persen) dari yang berhenti (drop out) tersebut karena memiliki pekerjaan tidak tetap dan 14 persen di antaranya tidak bekerja.
Bagi yang berpendidikan tinggi dengan biaya sekolah sekitar satu juta yen, maka apabila drop out 100 orang, berarti pendidikan kehilangan 100 juta yen setahun.
Takaki Funato, professor Ekonomi dari Kyushu Kyoritsu University yang spesialis drop out mengatakan, banyak sekali siswa yang memasuki sekolah dengan berbagai alasan.
"Tapi dulu sulit sekali masuk pendidikan sehingga hanya kalangan elit yang bisa masuk sekolah. Oleh karena itu pemerintah sebenarnya perlu menganalisa lebih lanjut alasan drop out mereka dan segera memberikan dukungan kepada masyarakat apabila ada kekurangan," ungkapnya kepada koran Mainichi, Rabu (4/2/2014).
Pihak kementerian pendidikan Jepang menyadari ada dua macam sekolah di Jepang. Satu sekolah yang sungkan untuk mengungkapkan jumlah drop out, takut akan mengganggu proses perekrutan murid di sana, tetapi ada pula sekolah yang secara terbuka mengungkapkan jumlah murid yang drop out dari sekolahnya.
Selain itu ada pula sekolah yang menggunakan sistem pengajar "homeroom" seperti yang dilakukan di sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama. Hal ini dilakukan untuk tetap menjaga agar murid-murid itu tetap sekolah, tidak ke luar dengan segala alasan apa pun, termasuk alasan tak punya uang.