Laporan Wartawan Tribunnews.com, Samuel Febriyanto
TRIBUNNEWS.COM, HONGKONG - Joshua Wong (18) membuat geger Pemerintah Hong Kong. Dari pemikirannya lahir gerakan massa yang dikenal revolusi payung. Rabu (26/11/2014), polisi menangkapnya.
Pemimpin kelompok aktivis mahasiswa Scholaris itu ditangkap bersama Lester Shum, Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Mahasiswa Hong Kong di pusat kawasan komersial di Jalan Nathan.
Polisi berdalih penangkapan mereka untuk membersihkan demonstran yang menduduki distrik Mong Kok. Di sana para demonstran mendirikan barikade, serta membuka tenda untuk menginap di jalanan.
Tindakan represif polisi Hong Kong itu terjadi setelah bentrokan pecah Selasa (25/11/2014) malam. Polisi mencoba membersihkan jalan lain di Mong Kok, Argyle Street, dari kependudukan mahasiswa.
Sebanyak 116 orang pascakonfrontasi di Mong Kok ditangkap. Alice Tam, Humas Kepolisian setempat, mengaku mereka ditangkap atas tuduhan melawan dan menyerang polisi, perakitan ilegal, dan kepemilikan senjata.
Dalam insiden Senin malam, sebanyak 20 polisi terluka.
Joshua menjadi buah bibir bagi dunia internasional belakangan ini, karena keberaniannya menuntut demokrasi kepada Pemerintah Tiongkok.
Dua tahun terakhir, Joshua telah membangun gerakan pemuda prodemokrasi di Hong Kong dengan mengkampanyekan peristiwa berdarah di lapangan Tiananmen yang terjadi 25 tahun lalu di Tiongkok.
Kampanye peristiwa pembantaian sipil di lapangan Tiananmen itu diharapkan mampu menyulut gelombang pembangkangan sipil dan kalangan mahasiswa di Hong Kong.
Dengan begitu, Joshua berharap Pemerintah Tiongkok mendapatkan tekanan dari dunia Internasional sehingga memberikan Hong Kong hak pilih universal.
Dikutip dari CNN, Rabu (24/9/2014), gerakan Wong dibangun di tahun-tahun masyarakat Hong Kong diliputi frustrasi. Sejak Inggris mengembalikan Hong Kong ke pangkuan Tiongkok pada 1997, kedua negara sepakat akan memberikan Hong Kong 'otonomi tingkat tinggi.'
Setelah 17 tahun Hong Kong kembali ke Tiongkok, janji otonomi tingkat tinggi, termasuk memilih pemimpin mereka secara demokratis tak terwujud. Proposal terbaru yang diajukan Tiongkok bahwa mereka akan mengakui pemimpin terpilih Hong Kong berdasar restu mereka.
Wong memerangi proposal pemerintah Tiongkok tersebut dan tak sabar untuk memenangkannya. Ia tak menyangka harus membangun jalan panjang untuk gerakan demokrasi di Hong Kong.
"Jika anda memiliki mentalitas bahwa perjuangan untuk sebuah demokrasi adalah panjang, berlarut-larut dan harus melalui langkah-langkah bertahap. Maka anda tidak akan pernah mendapatkannya. Anda harus melihat setiap pertempuran adalah pertempuran terakhir, dan anda harus memiliki tekat kuat untuk melawan," serunya.
Jejak pemberontakan Wong terhadap pemerintah Tiongkok dapat dilacak sejak ia berusia 15 tahun silam. Wong muda menyatakan menolak materi patriotik, pro-Komunis "Nasional dan Pendidikan Moral" ke sekolah-sekolah umum di Hong Kong.
Scholarism, kelompok aktivis bentukan Wong berkembang besar. Pada September 2012, Scholarism berhasil mengumpulkan 120 ribu demonstran, termasuk 13 relawan untuk aksi mogok makan sambil menduduki markas Pemerintah Hong Kong. Mereka memaksa para pemimpin menarik kurikulum yang diusulkan.
Saat itu Wong menyadari pemuda Hong Kong memegang kekuasaan yang signifikan. "Saat itu tak terbayangkan siswa Hong Kong akan peduli tentang politik sama sekali," katanya. "Tapi ada kebangkitan ketika isu pendidikan nasional terjadi. Kita semua mulai peduli tentang politik."
Ia pun membeberkan, Hong Kong dibawah kependudukan Tiongkok, tidak memiliki kebebasan sama sekali. Ia mencontohkan bagaimana surat kabar di Hong Kong lebih banyak memuat artikel yang memuat kepentingan Pemerintah Tiongkok.
Itu sebabnya Wong menetapkan sasaran agar Hong Kong dapat memiliki hak pilih universal. Gerakannya kini memiliki anggota sebanyak 300 orang siswa.
Pada Juni, Scholarism menyusun rencana mereformasi sistem pemilu Hong Kong, di mana mereka memenangkan dukungan dari hampir sepertiga pemilih. Dukungan itu didapatkannya berdasarkan referendum tak resmi yang digagas pihaknya.
Minggu ini Wong memimpin kelompoknya menggelar aksi meninggalkan ruang kelas, untuk mengirim pesan pro-demokrasi ke Beijing.
Aksi mereka mendapatkan dukungan luas, administrator perguruan tinggi telah berjanji memberikan keringanan hukuman pada siswa yang membolos, dan serikat guru terbesar di Hongkong mengedarkan petisi yang menyatakan "jangan biarkan mereka berdiri seorang diri', dimana merujuk kepada kelompok Wong.
Reaksi Pemerintah Tiongkok dapat ditebak, mereka mencap Scholarism sebagai kelompok ekstrimis. Wong juga mendapatkan popularitasnya di antara para pejabat keamanan Pemerintah Tiongkok, dimana ia dianggap sebagai ancaman internal stabilitas pemerintahan Partai Komunis.